Kamis, 14 Desember 2017

Review Star Wars: The Last Jedi



Judul The Last Jedi agak sedikit mengusik. Karena Jedi ini gak boleh bekeluarga apalagi pacaran, otomatis mereka jomblo sampai akhir hayat. The Last Jedi seolah menekankan kalo ini adalah Jedi terakhir. Padahal, di luar sana masih banyak jomblo-jomblo berkeliaran. Ini apa sih?
Sebelum nonton, gue selalu berpikir kalo penonton film ini paling cuma generasi 90-an ke bawah atau anak-anak 2000-an. Ternyata benar, di bioskop yang gue jadikan tempat nonton, isinya ya generasi itu. Bahkan ada yang bawa anaknya yang berusia sekitar 6 atau 7 tahun. Tapi untungnya gak berisik. Ada banyak cewek-cewek juga yang nonton. Seketika, gue pengen bilang, “Mau kah kamu menjadi belahan jiwaku?” ke mereka.
Film ini sedikit terasa seperti remake Empire Strikes Back. Tapi gak ada twist busuk “Luke, I’m your Father.” Dan gue yakin, ketika siapa orang tua Rey terungkap, para fans fanatik Star Wars akan kegirangan dan teriak “YEAH! MANTAP!”
Hal yang paling gue suka di film ini adalah chemistry antara Rey dan Kylo Ren aka Ben Solo yang nyenengin banget. Durasinya yang panjang mungkin bikin kita mikir dua kali buat nonton, tapi ternyata gak secapek itu. Gue malah ngerasa film ini kurang. Ketika keluar bioskop, gue ngerasa ada perasaan gak ikhlas di dalam hati dan pengen cepet-cepet nonton film selanjutnya.
Ada beberapa scene yang bikin spechless dan nahan napas saking memukaunya. Kalo ngomongin kekurangan, satu-satunya kekurangan di film ini adalah gak ada kalimat legendaris, “I have bad feeling about this.”  Yang ada di setiap film Star Wars sebelumnya.
Penonton yang bikin kesel? Ada. Ketika film selesai dan lagi jalan keluar bioskop, di belakang gue ada mas-mas yang nyeletuk, “Filmnya gak seru ah, actionnya kurang.”
Saat itu juga, gue menahan diri untuk tidak berkata kasar.

Selasa, 12 Desember 2017

Cinta Itu Dangdut



“Nanti ada waktunya elo ngerasa cinta itu terdengar seperti lagu dangdut. Sebagus apa pun lirik dan tampilannya, tetep aja terdengar kampungan.”
Kalimat ini diucapkan seorang teman ke gue ketika gue dulu cerita kalo lagi jatuh cinta. Kalimat yang waktu itu gue tanggapi sinis. Kini, sekitar 4 atau 5 tahun berselang, gue akhirnya ngerasain apa yang dia rasain dulu. Cinta terdengar sangat menggelikan di telinga.
Sebagai tempat sampah curhatan orang-orang, tentu saja gue harus menanggapi tetek-bengek romansa orang lain. Dan, iya. Hal itu bikin gue geli sendiri. Waktu ada temen yang cerita kalo dia lagi kasmaran, gue cuma cie-in, menanggapi positif, mendukung, dan kalau diminta, gue akan memberi saran. Ketika ada yang curhat soal permasalahan asmaranya, gue kadang cuma diem dan menyimak. Sesekali melontarkan pendapat. Terus, apa masalahnya? Gue sama sekali gak antusias dalam menanggapi curhatan-curhatan tersebut. Beda sama dulu. Entah karena capek, entah karena ngerasa cinta-cintaan cuma gitu-gitu aja, entah karena gue udah kering banget. Gue gak paham. Kemudian, gue mikir dan mengoreksi hidup gue.
Hasilnya, gue nulis ini. WKWKWK
Kalo dipikir lagi, semua ini dimulai sekitar 2 tahun yang lalu. Mungkin lebih. Waktu itu, gue ngerasa udah males cinta-cintaan. Pernah suatu hari gue bilang ke temen gue kalo gue ngerasa udah gak bisa lagi jatuh cinta. Dan hal itu memang terjadi. Karena waktu itu gue deket sama beberapa wanita dan gak ngerasain apa-apa. Sampai suatu ketika gue ketemu seseorang yang bisa bikin gue ngerasa nyaman dan tentram. Dan setelah gue pikir ulang, itu kayaknya bukan jatuh cinta. Mungkin itu perasaan sayang yang muncul setelah hampir setiap hari ditempa dan diasah. Waktu itu posisinya juga sama, dia udah ngerasa muak dan ngerasa gak bisa lagi jatuh cinta. Mungkin karena persamaan itulah kami akhirnya tanpa sadar jadi deket dan saling nyaman satu sama lain. Akhirnya, gue sama dia jadian. Melawan dunia. Melawan pendapat orang-orang. Karena kami beda agama. Iya. Mungkin kami udah sama-sama putus asa dan ngerasa gak akan ada lagi cinta yang lewat kalau kesempatan ini dilewatkan begitu aja. Kami nekat. Tapi, pada akhirnya gue yang nyerah. Atau mungkin kami sama-sama nyerah dengan keadaan.
Setelah hubungan itu berakhir, gue semakin geli sama cinta-cintaan. Sempet galau lama, gue dipertemukan dengan beberapa wanita lain. Tapi ya gitu, entah karena ngerasa ini bakal sia-sia atau emang udah males, hati gue sama sekali gak bergeming. Sampai akhirnya mereka pergi semua. Gue galau? Nggak. Nyesel? Kadang. Kalo dipikir lagi, gue kok songong amat ya. Padahal ada yang mau aja sukur. Bahahaha.
Tapi, setelah berbagai kejadian di bulan Februari dan Maret, gue akhirnya punya pacar lagi di bulan April. Prosesnya sama kayak yang beda agama. Karena udah deket dan ngerasa cocok satu sama lain, yaudah lah. Biasa banget ya alesan gue. Kampret.
Hubungan kami pada akhirnya gak berjalan lama. Sekitar 3 bulan. Padahal, kami adalah pasangan kompak. Absurd-nya sama, tontonan sama, bacaan lumayan sama, hobinya sama, sering main game bareng, saling rekomendasikan sesuatu, sejak sama dia gue jadi lumayan rajin sholat sama kuliah, dan yang lebih penting, dia salah satu orang yang narik gue dari lumpur depresi. Tapi mungkin karena terlalu sempurna dan kesempurnaan hanya milik Tuhan semata, beberapa hari setelah lebaran, gak ada angin gak ada hujan, dia tiba-tiba minta putus tanpa gue tahu penyebabnya sampe sekarang.
Sedih? Iyalah kampret. Gue kadang masih menyayangkan kenapa kami yang cocok banget itu harus pisah. Tapi, sekali lagi. Cinta sudah sangat dangdut dan terasa sangat menggelikan. Mau galau malu, mau meratap ngapain, mau nyari yang baru udah males. Endingnya, ya cuma mentok di situ-situ aja.
Nah, karena udah terlanjur asik sendiri dan merasa cinta itu dangdut… kayaknya gue mau jadi seorang Jedi aja. Meski sampai akhir hayat sendirian, tapi tetap terhormat di mata orang lain.

*BRENGSEK! TULISAN PANJANG LEBAR BEGINI CUMA BUAT PEMANASAN REVIEW FILM THE LAST JEDI!*

Jumat, 01 Desember 2017

Review Murder on the Orient Express



Pada awalnya, gak terbesit di kepala sedikit pun untuk menonton film ini. Ya gimana, gue bukan orang yang suka sama film yang bertele-tele dengan alur lambat. Padahal ya, gue sebelumnya belom pernah baca novelnya. Cuma nebak-nebak aja, soalnya beberapa tulisan Agatha Christie yang gue baca itu lambat bener alurnya. Tapi, karena tiba-tiba diajak untuk nonton film ini, yaudah, gue akhirnya memutuskan untuk menonton.
Pada hari H, hujan gak berhenti membasahi bumi. Bukan sok puitis, tapi emang begitu kenyataannya. Cuaca adem membabi-buta dalam beberapa hari terakhir, tapi gue masih tetap terkena insomnia. Gue baru bisa tidur jam 6 pagi sebelum akhirnya bangun pada pukul 8 dan melihat chat dia yang ngasih jadwal film hari itu.
“Kita nonton yang jam 12 ya?” Tanyanya, yang langsung gue jawab “Iya.” Dengan cepat.
Setelah itu, gue bilang mau tidur lagi. Karena dia tau kebiasaan gue, dia juga menyarankan buat tidur lagi. Ternyata, gue bangun jam setengah 12.
Gue menghubungi dia untuk meminta maaf dengan basa-basi yang dia bales dengan “Yaudah, kita nonton yang jam 2 ya.”
Gue langsung siap-siap.
Setelah siap dan melihat betapa tampannya diri ini di cermin, gue langsung berangkat dengan hati berbunga-bunga. Tapi, ternyata alam gak sebaik itu. Di tengah jalan, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Dengan sedikit was-was, gue menghubungi dia lagi. Mencoba untuk memaklumi gue, dia bilang, “Yaudah, kita nonton yang jam 4 aja ya.”
Detik itu juga, gue merasa gak salah dalam menyayangi seseorang.
Bentar.
INI REVIEW-NYA MANA, KAMPRET?
***
Oke, kali ini kita mulai review-nya.
Kami sampai bioskop dengan setengah berlari karena takut kehabisan tiket. Apalagi hari itu adalah awal long weekend dan jam tayang film yang mau kami tonton tinggal setengah jam lagi. Setelah sampai bioskop dengan trengah-engah, kami langsung bergegas ke loket dan ternyata… YANG NONTON FILM INI DIKIT BANGET GILA!
Sebelumnya emang udah gue prediksi kalo film ini bakal sedikit peminat. Tapi ya gak nyangka sedikit itu.
Kami duduk di deretan F. Sebelah kiri kami, atau lebih tepatnya sebelah kiri gue ada seorang mas-mas memakai topi yang duduk sendirian dengan muka yang sangat letih. Entah letih atau galau abis putus cinta gue gak paham.
Film ini dibuka dengan sangat keren, lucu, dan menyenangkan. Kalo ditanya part paling favorit di film ini apa, gue pasti jawab openingnya. Film ini sangat memanjakan mata dengan spot-spot bagus yang mantap. Sedikit mengingatkan rencana ngasal gue buat mengajak istri gue kelak buat bulan madu menunggangi Trans-Siberia, kereta yang menempuh perjalanan dari China-Rusia. Ketika lagi khidmat-khidmatnya menikmati opening yang ‘wah’, temen nonton gue tiba-tiba nanya, “Mereka itu selama berhari-hari di kereta, mandi gak ya?” seketika gue langsung gemes dan ingin mencubitnya.
Nyubit pake tang.
Ketika sudah sampai pertengahan film, gue melirik mas bertopi di samping kiri gue, dan tahu dia lagi ngapain? Dia ketiduran.
BENER-BENER TIDUR.
Gue langsung berbisik ke temen nonton gue, “Hey, look, He’s sleeping.” Yang langsung dia tanggapi dengan tawa kecil. Entah karena mas-mas yang tidur itu, atau karena grammar gue yang berantakan.
Apa hubungannya kejadian lucu  di atas dengan isi film? Ya sangat-amat berhubungan. Film ini di pertengahan emang datar dan bikin nguap. Kalo gue nonton sendirian, gue juga mungkin akan terlelap dengan pulas seperti mas-mas di samping gue. Jadi, buat yang mau nonton film ini, kalian janganlah nonton sendirian, kecuali kalo kalian kuat dan tangguh. Temen nonton bisa diajak buat diskusi dan buat nebak-nebak pelaku di film ini. Karena kebetulan kami gak baca novel sama nonton trailernya dulu, kami bisa sok seru waktu nebak-nebak siapa pelaku pembunuhan di kereta. Kalo ngajak yang udah tau jalan ceritanya atau elo udah tau jalan ceritanya gimana? Ya pastikan gak ember dan tukang spoiler. Biar keseruan nonton film ini berasa.
Setelah film selesai, kami saling menatap. Mata kami saling berbicara dan meneriakkan “Udah gini doang?”
Iya, emang cuma gitu doang. Apakah artinya film ini jelek? Nggak juga. Gue bisa menikmatinya, walau sedikit lelah. Gue mungkin akan membaca novelnya untuk perbandingan. Kalo temen nonton gue ngasih skor film ini 6.5, gue menilai film ini dengan skor 7 dari 10.

Kamis, 16 November 2017

Review Justice League: You Can't Save The World Alone. Karena Alone Adalah Jomblo.





Sebelum film ini tayang di bioskop, banyak banget kejadian yang menggemparkan jagat dunia maya. Mulai dari Italia gak lolos piala dunia, Papa Setnov yang menghilang tanpa jejak, Mas Is yang keluar dari band Payung Teduh, dan yang terakhir, gue dapet kabar kalo cewek yang sempet gue taksir mau nikah bulan depan.  Kabar bertubi-tubi ini terlalu mendadak, gue curiga kalo ini semua adalah pengalihan isu dari antek fanatik Marvel yang pengin film ini dilupakan.
Okay, langsung aja. Menurut gue, film ini gak jelek. Perkara alur yang lamban, CGI yang payah, sebenernya itu balik ke selera masing-masing sih. Interaksi enam superhero + Alfred di film ini begitu hidup, waktu mereka berinteraksi satu sama lain itu nyenengin banget ditonton. Lumayan banyak joke bertebaran, agak sarkas dan khas DC, tapi rata-rata yang bisa bikin satu bioskop ketawa pecah adalah Ezra Miller. Yup, pokoknya tiap Flash nongol itu bawaannya pengen ketawa. Tingkahnya bocah banget dan nerd abis. Bisa dibilang, Flash adalah penyelamat film ini. Oh, sama Mbak Gal Gadot deng. Kalo gak ada mereka berdua, gak tau deh film ini mau sekering apa. Tapi… nah, biasanya kalo udah ada tapinya itu busuk sih…
Tapi, gak tau kenapa film ini menurut gue berasa ada yang kurang. Setelah keluar dari bioskop gue kayak bertanya pada diri sendiri “Hah? Begini doang?” Iya, begitu doang.
HAHAHAHAHA
===============BATAS SUCI===============
Mulai dari sini gue bakal ngomong agak kasar dan spoiler, yang belom nonton filmnya atau gak suka diharap gak lanjutin baca.

****Spoiler Alert****
Gue selalu bermasalah dengan alur lamban, tapi gue masih bisa tahan sama Justice League. Mungkin karena penyampaian ceritanya yang bagus. Yang bikin gue keganggu mungkin beberapa plot hole dan subtitle bioskop yang gak lebih bagus dari sub Pein Akatsuki atau Lebah Ganteng.
Di BvS, Bruce Wayne jadi Batman setelah tragedi Superman vs Zod di Man of Steel (CMIIW), tapi di film ini tiba-tiba Batman udah beraksi selama 20 tahun. Bagian ini sempet bikin gue melongo.
Karena cuma nonton 2 trailernya, gue sama sekali gak tau siapa yang akan jadi musuh di film ini. Dan ketika tahu Steppenwolf yang jadi musuh di film ini, gue pengen banget teriak “WHAT THE HELL DC?! APA INI?” buat yang gak tau, Steppenwolf itu tangan kanan Darkseid, dan Darkseid ini adalah tokoh fiksi yang menginspirasi Thanos di Marvel. Jadi, artinya… DC bener-bener menyatakan perang secara terbuka pada Marvel, khususnya MCU. Bukan gak suka atau gimana, tapi menurut gue ini gak sehat buat DC. Bagaimanapun, DCEU terus dibanding-bandingkan sama MCU. Gue yakin, pemilihan Darkseid udah dipikirin mateng-mateng sama pihak DC dan WB, tapi apa gak bisa villain yang lain dulu? Kenapa harus Darkseid? Bagh.
Buat yang berharap kejutan, gak akan ada kejutan berarti di film ini. Green Lantern gak ada, Martian Manhunter gak ada, Shazam filmnya baru mau dibikin, jadi gak usah ngarep ada superhero lain. Yang bikin teriak “Anjing!” mungkin credit terakhir film yang menampilkan pertemuan Lex ‘Fucking’ Luthor dengan Deathstroke yang membicarakan pembentukan Injustice League.
Film ini surganya easter egg, dan ini yang bikin gue bingung. Gotham ada di bawah naungan Batman selama (katanya) 20 tahun tapi kenapa di Suicide Squad Batman butuh info dari si brengsek Amanda Waller buat nangkep Deadshot? Di depan anaknya pula. Apa Batman terlalu sibuk sama penjahat lain sampai-sampai butuh info dari luar?
Di akhir film, waktu bikin markas buat JL, Wonder Woman seolah-olah ngasih clue kalo bakal ada anggota baru di Justice League. Mungkin yang hampir pasti itu Shazam, dan semoga Green Lantern sama Martian Manhunter juga gabung. Tapi karena ini DC dan WB, bisa aja yang akan gabung selanjutnya adalah Oliver Queen aka Green Arrow. Yang penting kan film laku, bodo amat sama harapan fans. Tipikal WB. Asyu.

Kayaknya segitu aja. Sekali lagi, ini cuma urusan selera masing-masing aja. Banyak orang yang Happy-happy aja setelah nonton, ada juga yang galau kayak gue, ada juga yang nyinyirin film ini sadis sesadis-sadisnya. Apa pun pendapat kita, ingatlah selalu Pancasila, sila ketiga.
Terima kasih.

Minggu, 05 November 2017

Membandingkan Tiga Trilogi Marvel



Thor Ragnarok menutup trilogi Thor dengan apik. Dengan ini, udah ada tiga trilogi di Marvel Cinematic Universe yang berakhir, yaitu: Iron Man, Captain America, dan terakhir Thor. Dan jika masih berjalan sesuai rencana, film solo tiap superhero Marvel hanya akan mendapat jatah tiga film. Tapi jangan khawatir, kita masih bisa melihat superhero macam Iron Man, Captain America, dan Thor di film-film MCU.
Kali ini gue mau ngobrolin soal trilogi tiga superhero tersebut. Daripada ngobrolin, kayaknya gue mau membandingkan ketiga trilogi ini sih. Okay, cek it out!

Iron Man
MCU (Marvel Cinematic Universe) bisa dibilang dimulai di sini. Di film pertama Iron Man, kita udah dikenalkan dengan S.H.I.E.L.D dan Agen Coulson, meskipun gak dibedah banget.
Sebagai fanboy DC dan juga fans fanatik Batman dan Justice League, film pertama Iron Man berhasil menjerat gue masuk ke dalam dunia Marvel. Mungkin ini yang jadi masalah WB dan DC dalam dunia yang mereka sebut DC Extended Universe. DC gagal menjaring fans awam, sedangkan Marvel berhasil melakukannya. Jujur aja, superhero Marvel yang dulu gue suka cuma Spider-Man, X-Men, sama The Punisher. Spider-Man karena dia berisik dan lucu, X-Men karena keren, sedangkan The Punisher karena komik ini sangat ‘gelap’. Karena alasan ‘gelap’ pula kenapa gue lebih suka komik-komik DC. Terutama Batman. Oke, mari kita akhiri ini dan kembali ke topik.
Satu-satunya yang membuat trilogi Iron Man terasa gagal adalah film ketiganya yang apa banget. Gue menikmati film ketiganya, tapi yang gue sayangkan adalah sosok villain keren seperti Mandarin harus jadi apa banget. Blunder terbesar MCU adalah sosok Mandarin. Karena Mandarin itu adalah Jokernya Iron Man. Musuh bebuyutan yang sering ngerepotin Tony Stark. Selebihnya, trilogi Iron Man ini luar biasa.

Captain America
Entah karena gue dulu sangat suka sama film animasi tentang origin Captain America atau emang film pertamanya jelek banget, gue marah-marah waktu nonton film pertamanya. Banyak poin di film ini yang sangat berasa CGI-nya, entah Marvel kekurangan duit atau gimana buat ngerapihin editannya. Tapi, Marvel menebusnya dengan 2 film Captain America yang super kece. The Winter Soldier berhasil jadi film Marvel favorit sepanjang masa buat gue. Film ini gelap banget. Setahu gue ini film MCU yang tergelap. Emosi di film ini sangat terasa, jauh berbeda dari film Marvel lain yang ceria. Trilogi kapten diakhiri dengan Civil War yang ‘rame’ banget. Banyak superhero nongol dan juga banyak gelutnya. Tapi gak tau kenapa, trilogi Captain America ini ada yang kurang. Entah perasaan gue doang apa gimana. Hmm.

Thor
Selain film pertama yang menurut gue terlalu bertele-tele, film kedua dan film ketiga Thor sangat menghibur. Berbeda dari film pertama dan film kedua yang lumayan gelap, film ketiga, Thor: Ragnarok yang baru rilis kemaren itu sangat amat ceria. Saking cerianya, beberapa scene yang harusnya haru jadi gak berasa. Tapi entah kenapa gue gak mempermasalahkannya. Beda sama temen-temen gue di grup komik yang meributkan hal ini. Di Thor: Ragnarok, Taika Waititi menunjukkan kelasnya sebagai elit komedi nomer wahid. Formula Taika di film ini sederhana, beberapa adalah joke yang dia kumpulkan dari semua film-film Marvel sebelumnya dan herannya, punchline-nya pecah parah! Walau sedihnya, gue sempet ketawa sendirian di bioskop karena beberapa joke yang menurut gue jenius dan pecah banget, tapi sama sekali gak ada yang ketawa selain gue. Bener-bener ketawa sendirian. Gue sampe teriak dalam hati, “KALIAN INI BENERAN PENGGEMAR MARVEL CINEMATIC UNIVERSE? INI JOKE YANG NYENGGOL FILM MARVEL SEBELUMNYA LHO….”

Kali ini gue mau mulai membandingkan. Menurut gue, ketiga trilogi ini ada kurang dan juga lebihnya. Hampir berimbang, tapi kalo gue harus memilih, gue kayaknya lebih milih trilogi Captain America. Kenapa? Kalo gue jawab soal selera, gue yakin kalian gak akan puas, jadi gue bilang aja alesannya. Pertama, Steve Rogers diperankan sangat baik oleh Chris Evans. Karisma Cap, kegalauan Cap tentang ‘rumah’ yang dia rindukan berhasil sampai ke penonton karena akting bagus Chris Evans. Kedua, trilogi ini digarap sangat ‘serius’ dan lebih banyak adu jotos daripada dialog, juga hanya memasukkan dark komedi sebagai pemanis. Ketiga, mungkin karena gue emang lebih suka Captain. Karena dia bener-bener seorang dengan jiwa ‘superhero’ yang dikagumi semua orang. Dia berasal dari zero, kemudian menjadi hero. Karakter Marvel kedua yang kayak gini mungkin cuma Peter Parker.
MCU udah masuk ke phase 3, kalo dari yang gue inget, Avengers rencananya cuma akan sampai phase 4, yang artinya akhir dari Avengers angkatan pertama tinggal beberapa tahun lagi. Tapi, jangan khawatir. Karena setelah phase 4, MCU mungkin akan mengenalkan dunia baru. Yang akan berhenti mungkin cuma angkatan pertama macam Captain, Iron Man, dan Thor. Angkatan selanjutnya mungkin akan diisi oleh Adam Warlock, Captain Marvel, Doctor Strange, Spider-Man, atau bahkan NOVA. Kita tunggu apa yang akan Marvel kerjakan di masa depan.
Gimana menurut kalian? Mana trilogi yang menurut kalian paling oke?