Kamis, 15 September 2016

Sedikit Curhatan Tentang Komik Three Mas Getir



Terjun dan terlibat langsung dalam dunia komik adalah impian gue sejak lama. Bahkan sebelum gue memutuskan untuk serius dalam dunia menulis, gue udah pengin jadi komikus lebih dulu. Bisa dibilang, jadi penulis itu awalnya malah gak ada di dalam agenda hidup gue. Kenapa gak fokus ngomik? Simpel. Gambaran tangan gue sudah terlampau bagus. Level gue udah beda. Gue cuma takut Eichiro Oda minder waktu liat gambar gue. Kalo dia berhenti nerusin cerita One Piece kan bisa repot. Makanya, gue gak gambar, cukup jadi penulis aja.
Tapi karena emang udah jalannya kali ya, di akhir bulan januari 2016 yang sangat baper karena cewek yang gue taksir gak peka-peka, gue ditawarin sebuah proyek komik sama seorang editor dari Agromedia Group yang kelak gue tau kalo namanya itu Mega Fitriyani. Tapi gue tetap pada keyakinan gue. Gue gak mau menggambar. Cukup jadi konseptor dan penulis skrip komiknya aja. *dibakar*
Proyek ini sempat tertunda beberapa minggu karena belom ada ilustratornya. Ketika udah nemu, dia ngundurin diri dengan alasan deadline-nya gila. Gimana gak gila, seminggu harus selesai minimal 5 cerita. Udah berasa artisnya shonen JUMP aja. Tapi semesta akhirnya mempertemukan kami dengan Julian, atau yang lebih dikenal sebagai @sengklekmen di Instagram. Anaknya asik dan pekerja keras. Walau kadang gue sama Mega sering dibikin kesel sama ulahnya. Well, kata Mega sih kita itu penulis sama ilustrator yang paling dia suka. Soalnya tanpa dia tagih, kami udah setoran. Rajin banget pokoknya. Tapi asal lo tau, Meg. Kalo misal gue telat setor naskah pun itu gegara lo sering curhat, sering baper soal ini itu. Kayaknya sih Mega doang editor yang suka chat penulisnya “Eh aku mau curhat.” Bukannya “Naskah mana? Besok deadline!”
Meski gitu, makasih ya Meg. Berkat dirimu, daku bisa mewujudkan salah satu impian yang sejak lama terpendam. Aku cinta kamu. *mual*
Ehm. *mode serius*
Well, di komik pertama ini gue nemu banyak hal. Nulis fiksi dan non fiksi secara bersamaan itu gak gampang. Soalnya di komik ini, gue harus nulis skrip komik sekaligus nulis artikel tentang fenomena yang gue angkat sebagai cerita. Nulis konten mungkin enak, soalnya itu udah jadi makanan sehari-hari gue. Tapi ketika nulis skrip komik, gue harus banyak baca, harus banyak memerhatikan lingkungan sekitar. Karena menurut gue, bikin komik kehidupan sehari-hari dalam sudut pandang komedi itu gak gampang. Perlu sudut pandang yang gak biasa untuk membuat sesuatu yang biasa terjadi di keseharian tapi ketika kita menyampaikannya dalam sebuah cerita, hal itu bisa ditertawakan dan dinikmati.
Bisa dibilang, komik ini membawa gue ke level komedi yang lebih tinggi. Level di mana gue bercerita untuk menyampaikan sesuatu, tapi masih bisa bikin ketawa dan dinikmati orang banyak. Gak cuma nulis dan asal ceplos kayak buku pertama gue. Keduanya masih komedi, tapi menurut gue levelnya udah beda. Buat tau bedanya, silakan dibaca aja. Hehe.
Dari pengalaman inilah gue sadar kalo bikin komik itu gak gampang. Gak segampang ketika gue misuh-misuh waktu HunterxHunter hiatus mulu. *digampar*
Dan inilah komik pertama gue, Three Mas Getir. Sebuah komik yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Semoga kalian suka. Semoga apa yang ingin kami sampaikan pada pembaca bisa diterima dengan baik. Yang terpenting sih, semoga kalian menikmatinya.
Terus, kenapa kalian harus beli komik ini?
Alesan kerennya, jelas buat mendukung kebangkitan komik Indonesia yang lagi berkembang banget. Karena itu, mari mengapresiasi karya anak negeri dengan membelinya. Karena sebuah karya lahir dari proses panjang dan kerja keras, nggak merem cling jadi. Gitu.
Alesan mulianya adalah… seniman juga butuh makan :’))

Karena udah repot-repot mau baca postingan ini, gue bakalan kasih sedikit spoiler tentang komik ini. Spoilernya adalah... tunggu setelah pesan-pesan berikut ini !!! eng ing eng... 

Sedikit Curhatan Tentang Komik Three Mas Getir



Terjun dan terlibat langsung dalam dunia komik adalah impian gue sejak lama. Bahkan sebelum gue memutuskan untuk serius dalam dunia menulis, gue udah pengin jadi komikus lebih dulu. Bisa dibilang, jadi penulis itu awalnya malah gak ada di dalam agenda hidup gue. Kenapa gak fokus ngomik? Simpel. Gambaran tangan gue sudah terlampau bagus. Level gue udah beda. Gue cuma takut Eichiro Oda minder waktu liat gambar gue. Kalo dia berhenti nerusin cerita One Piece kan bisa repot. Makanya, gue gak gambar, cukup jadi penulis aja.
Tapi karena emang udah jalannya kali ya, di akhir bulan januari 2016 yang sangat baper karena cewek yang gue taksir gak peka-peka, gue ditawarin sebuah proyek komik sama seorang editor dari Agromedia Group yang kelak gue tau kalo namanya itu Mega Fitriyani. Tapi gue tetap pada keyakinan gue. Gue gak mau menggambar. Cukup jadi konseptor dan penulis skrip komiknya aja. *dibakar*
Proyek ini sempat tertunda beberapa minggu karena belom ada ilustratornya. Ketika udah nemu, dia ngundurin diri dengan alasan deadline-nya gila. Gimana gak gila, seminggu harus selesai minimal 5 cerita. Udah berasa artisnya shonen JUMP aja. Tapi semesta akhirnya mempertemukan kami dengan Julian, atau yang lebih dikenal sebagai @sengklekmen di Instagram. Anaknya asik dan pekerja keras. Walau kadang gue sama Mega sering dibikin kesel sama ulahnya. Well, kata Mega sih kita itu penulis sama ilustrator yang paling dia suka. Soalnya tanpa dia tagih, kami udah setoran. Rajin banget pokoknya. Tapi asal lo tau, Meg. Kalo misal gue telat setor naskah pun itu gegara lo sering curhat, sering baper soal ini itu. Kayaknya sih Mega doang editor yang suka chat penulisnya “Eh aku mau curhat.” Bukannya “Naskah mana? Besok deadline!”
Meski gitu, makasih ya Meg. Berkat dirimu, daku bisa mewujudkan salah satu impian yang sejak lama terpendam. Aku cinta kamu. *mual*
Ehm. *mode serius*
Well, di komik pertama ini gue nemu banyak hal. Nulis fiksi dan non fiksi secara bersamaan itu gak gampang. Soalnya di komik ini, gue harus nulis skrip komik sekaligus nulis artikel tentang fenomena yang gue angkat sebagai cerita. Nulis konten mungkin enak, soalnya itu udah jadi makanan sehari-hari gue. Tapi ketika nulis skrip komik, gue harus banyak baca, harus banyak memerhatikan lingkungan sekitar. Karena menurut gue, bikin komik kehidupan sehari-hari dalam sudut pandang komedi itu gak gampang. Perlu sudut pandang yang gak biasa untuk membuat sesuatu yang biasa terjadi di keseharian tapi ketika kita menyampaikannya dalam sebuah cerita, hal itu bisa ditertawakan dan dinikmati.
Bisa dibilang, komik ini membawa gue ke level komedi yang lebih tinggi. Level di mana gue bercerita untuk menyampaikan sesuatu, tapi masih bisa bikin ketawa dan dinikmati orang banyak. Gak cuma nulis dan asal ceplos kayak buku pertama gue. Keduanya masih komedi, tapi menurut gue levelnya udah beda. BUat tau bedanya, silakan dibaca aja. Hehe.
Dari pengalaman inilah gue sadar kalo bikin komik itu gak gampang. Gak segampang ketika gue misuh-misuh waktu HunterxHunter hiatus mulu. *digampar*
Dan inilah komik pertama gue, Three Mas Getir. Sebuah komik yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Semoga kalian suka. Semoga apa yang ingin kami sampaikan pada pembaca bisa diterima dengan baik. Yang terpenting sih, semoga kalian menikmatinya.
Terus, kenapa kalian harus beli komik ini?
Alesan kerennya, jelas buat mendukung kebangkitan komik Indonesia yang lagi berkembang banget. Karena itu, mari mengapresiasi karya anak negeri dengan membelinya. Karena sebuah karya lahir dari proses panjang dan kerja keras, nggak merem cling jadi. Gitu.
Alesan mulianya adalah… seniman juga butuh makan :’))

Karena udah repot-repot mau baca postingan ini, gue bakalan kasih sedikit spoiler tentang komik ini. Spoilernya adalah... tunggu setelah pesan-pesan berikut ini !!! eng ing eng... 

Jumat, 09 September 2016

Firasat


Senja tak seramai biasanya. Laut menghampar luas berwarna oranye. Angin musim kemarau dan musim penghujan menyatu menjadi satu. Lalu suara deburan ombak hanya terdengar berbisik saking tenangnya.
“Aneh,” gumam Wendy dengan mimik muka yang menunjukkan keheranan.
“Apa?” tanyaku.
“Aku merasa, walau sedikit, kudengar angin seperti menangis.”
Aku terkekeh. Dia melirikku dengan tatapan yang seolah bertanya, “Kenapa?”
“Kamu terdengar seperti penyair jaman dulu,” kataku. Wendy mendesis, lalu dia menatapku dengan sinis. Melihatnya begitu, aku langsung menghentikan kekehanku.
“Marah?” tanyaku.
Dia menggeleng. Lalu dia membuka kertas gambar yang selalu dia bawa kemana pun, kemudian dia mulai membuat goresan-goresan di atasnya. Dia menggambar pemandangan yang berada di hadapan kami. Angin membuat rambut panjangnya yang teruai menjadi berantakan, tapi dia tak memperdulikannya dan terus menggambar. Dia sudah hanyut dalam dunianya sendiri. Dunia yang tak pernah bisa aku masuki. Aku kadang penasaran, apa di dalam dunia itu, ada aku di dalamnya?
***
Sudah 7 tahun sejak sore itu. Gambar itu tak pernah terselesaikan sampai hari ini. Padahal, Wendy sudah berjanji untuk menyelesaikannya. Tapi sore itu dia malah pergi. Pergi untuk selamanya.
Sore itu, hari sudah gelap. Di langit sebelah barat, bintang pertama sudah berpijar dengan terang. Deburan ombak bersahutan kencang, dan lampu sorot dari mercusuar sudah menyala dengan sangat terang.
Wendy berjalan di sampingku dengan wajah bahagia, lalu dia berkata, “Besok, kau mau menemaniku ke sini lagi kan?” aku mengangguk reflek.
Lalu kami berpisah di persimpangan jalan karena berbeda arah pulang. Besoknya aku menunggunya di tempat itu lagi, tetapi dia tak datang. Besoknya lagi, aku kembali menunggunya. Besoknya lagi. Besoknya lagi. Besoknya dan akhirnya aku mendengar berita itu.
Wendy sudah tiada. Mungkin itu sebabnya dia mendengar kalau angin saat itu sedang menangis.