Jumat, 09 September 2016

Firasat


Senja tak seramai biasanya. Laut menghampar luas berwarna oranye. Angin musim kemarau dan musim penghujan menyatu menjadi satu. Lalu suara deburan ombak hanya terdengar berbisik saking tenangnya.
“Aneh,” gumam Wendy dengan mimik muka yang menunjukkan keheranan.
“Apa?” tanyaku.
“Aku merasa, walau sedikit, kudengar angin seperti menangis.”
Aku terkekeh. Dia melirikku dengan tatapan yang seolah bertanya, “Kenapa?”
“Kamu terdengar seperti penyair jaman dulu,” kataku. Wendy mendesis, lalu dia menatapku dengan sinis. Melihatnya begitu, aku langsung menghentikan kekehanku.
“Marah?” tanyaku.
Dia menggeleng. Lalu dia membuka kertas gambar yang selalu dia bawa kemana pun, kemudian dia mulai membuat goresan-goresan di atasnya. Dia menggambar pemandangan yang berada di hadapan kami. Angin membuat rambut panjangnya yang teruai menjadi berantakan, tapi dia tak memperdulikannya dan terus menggambar. Dia sudah hanyut dalam dunianya sendiri. Dunia yang tak pernah bisa aku masuki. Aku kadang penasaran, apa di dalam dunia itu, ada aku di dalamnya?
***
Sudah 7 tahun sejak sore itu. Gambar itu tak pernah terselesaikan sampai hari ini. Padahal, Wendy sudah berjanji untuk menyelesaikannya. Tapi sore itu dia malah pergi. Pergi untuk selamanya.
Sore itu, hari sudah gelap. Di langit sebelah barat, bintang pertama sudah berpijar dengan terang. Deburan ombak bersahutan kencang, dan lampu sorot dari mercusuar sudah menyala dengan sangat terang.
Wendy berjalan di sampingku dengan wajah bahagia, lalu dia berkata, “Besok, kau mau menemaniku ke sini lagi kan?” aku mengangguk reflek.
Lalu kami berpisah di persimpangan jalan karena berbeda arah pulang. Besoknya aku menunggunya di tempat itu lagi, tetapi dia tak datang. Besoknya lagi, aku kembali menunggunya. Besoknya lagi. Besoknya lagi. Besoknya dan akhirnya aku mendengar berita itu.
Wendy sudah tiada. Mungkin itu sebabnya dia mendengar kalau angin saat itu sedang menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar