Senja tak seramai biasanya. Laut menghampar luas berwarna oranye. Angin musim kemarau dan musim penghujan menyatu menjadi satu. Lalu suara deburan ombak hanya terdengar berbisik saking tenangnya.
“Aneh,” gumam Wendy dengan mimik muka
yang menunjukkan keheranan.
“Apa?” tanyaku.
“Aku merasa, walau sedikit, kudengar
angin seperti menangis.”
Aku terkekeh. Dia melirikku dengan
tatapan yang seolah bertanya, “Kenapa?”
“Kamu terdengar seperti penyair jaman
dulu,” kataku. Wendy mendesis, lalu dia menatapku dengan sinis. Melihatnya
begitu, aku langsung menghentikan kekehanku.
“Marah?” tanyaku.
Dia menggeleng. Lalu dia membuka
kertas gambar yang selalu dia bawa kemana pun, kemudian dia mulai membuat
goresan-goresan di atasnya. Dia menggambar pemandangan yang berada di hadapan
kami. Angin membuat rambut panjangnya yang teruai menjadi berantakan, tapi dia
tak memperdulikannya dan terus menggambar. Dia sudah hanyut dalam dunianya
sendiri. Dunia yang tak pernah bisa aku masuki. Aku kadang penasaran, apa di dalam
dunia itu, ada aku di dalamnya?
***
Sudah 7 tahun sejak sore itu. Gambar
itu tak pernah terselesaikan sampai hari ini. Padahal, Wendy sudah berjanji
untuk menyelesaikannya. Tapi sore itu dia malah pergi. Pergi untuk selamanya.
Sore itu, hari sudah gelap. Di langit
sebelah barat, bintang pertama sudah berpijar dengan terang. Deburan ombak
bersahutan kencang, dan lampu sorot dari mercusuar sudah menyala dengan sangat
terang.
Wendy berjalan di sampingku dengan
wajah bahagia, lalu dia berkata, “Besok, kau mau menemaniku ke sini lagi kan?”
aku mengangguk reflek.
Lalu kami berpisah di persimpangan
jalan karena berbeda arah pulang. Besoknya aku menunggunya di tempat itu lagi,
tetapi dia tak datang. Besoknya lagi, aku kembali menunggunya. Besoknya lagi.
Besoknya lagi. Besoknya dan akhirnya aku mendengar berita itu.
Wendy sudah tiada. Mungkin itu sebabnya
dia mendengar kalau angin saat itu sedang menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar