Kamis, 21 Maret 2019

Vega


Rasanya seperti bau rumah sakit.
Begitu yang ada di dalam kepalaku ketika harus terjebak di dalam kerumunan dan menunggu seseorang. Aku bukan tipe orang penyabar, dan tentu saja bukan orang yang suka berada di tengah keramaian. Tapi, karena satu hal, aku harus berada di sini, menunggu teman sekelasku, Juni. 
Juni, nama yang terasa seperti pemalas. Aku belum mengetahui biodatanya, tapi aku berani bertaruh kalau dia lahir di bulan Juni. Makanya, tadi kubilang dia seperti pemalas, karena orang tuanya terasa malas mencari nama lain. Atau mungkin, mereka merasa bahwa nama Juni akan mengingatkan mereka pada momen itu. Nah, kan? Apa kubilang. Mereka pemalas.
*
Juni tiba-tiba muncul dan menyapaku dari jauh. Aku menggoreskan senyum di wajah, walau terasa kaku. Dia menghampiriku dengan tergesa, kemudian meminta maaf karena terlambat. Kubilang, aku tidak apa-apa. Kami kemudian pergi ke sebuah kafe, membicarakan tugas kuliah. Sesekali dia juga membicarakan teman sekelas lain, yang jujur saja tak kuingat wajahnya. Lalu kami pergi ke sebuah toko kaset. Jika bukan sama-sama perempuan, mungkin ini akan menjadi kencan yang sempurna. Begitu pikirku.
Kami berpisah di stasiun, setelah sebelumnya lebih dulu memakan es krim di bangku stasiun. Di sepanjang perjalanan pulang, tiba-tiba saja aku merasa bersyukur. Di dunia ini, masih ada orang yang bisa hidup dengan ceria dan bahagia seperti Juni.

Rabu, 20 Maret 2019

Altair


Pagi ini terasa berat.
Aku terbangun dari sebuah mimpi buruk yang tak kuingat lagi itu apa. Hanya perasaan mencekamnya saja yang tersisa. Akhir-akhir ini, aku sering sekali merasa ketakutan. Usiaku yang tiap detik bertambah, ditambah tidak mempunyai pekerjaan, membuat hal itu semakin menjadi.
Aku takut menjadi manusia gagal.
*
Kalau diingat lagi, masa mudaku tidak seperti ini. Aku lebih sibuk bermimpi dan mengejar impian. Dari impian satu ke impian yang lainnya. Aku tidak mempunyai waktu untuk berpikir, atau mungkin, aku tak mau memikirkan mau jadi seperti apa hidupku ini. Kemudian, impian-impian itu gagal. Aku kehilangan arah, lalu berakhir dalam tuntutan ini dan itu. Aku tenggelam dengan sempurna.
*
Aku melanjutkan hidup.
Demi dinding kamar.
Demi langit-langit.
Demi tiang penyangga rumah.
Mungkin, ini pemikiran naif.
Tapi, jika aku memutuskan untuk terus berjalan, adakah kesempatan untuk mencapai sesuatu?

Minggu, 03 Maret 2019

Semesta Dalam Dinding


Lagu ‘Sleepwalking’ Bring Me The Horizon mengendap di udara, merambat dan memantul melalui dinding kamar. Anehnya, dari suara yang begitu berisik dari speaker, kedua telingaku sama sekali tak mendengarnya. Aku masih asik berbincang dengan dinding kamar, yang sesekali ditimpali oleh tawa langit-langit. Dunia ternyata bisa setenang ini, begitu pikirku.
Di luar sana, hujan masih deras menghujam ke arah bumi, malam terasa lebih panjang dari biasanya. Dalam kamar yang sedang melindungiku dari dunia, aku merasa diselamatkan. Aku masih enggan memikirkan hari esok. Di luar sana, ada banyak hal yang membuatku sekarat. Tapi, besok sudah Senin. Segala aktivitas  akan dimulai, dan aku belum menyiapkan apa-apa.
Aku ingin berlari. Tapi hanya kamar ini yang bisa melindungiku. Aku benci menjadi lemah dan pengecut. Aku benci suara riuh yang dihasilkan kendaraan. Aku benci melihat orang lain tertawa lepas. Aku benci hujan. Aku benci diri sendiri.
*
Suatu hari nanti, aku ingin pergi jauh dan dilupakan oleh semua orang. Tidak ada lagi yang merasa kecewa karena kehadiranku. Tidak ada lagi yang perlu menangisi keberadaanku. Tidak ada lagi yang mengeluhkan betapa tidak bergunanya diriku. Kurasa, itu adalah dunia yang ideal untukku. Dunia yang melupakan keberadaanku.
Lalu, di tempat baru itu, aku akan berusaha untuk terus hidup. Bagaimana pun caranya. Aku akan makan yang teratur, menyisihkan penghasilanku, kemudian membeli apa pun yang aku inginkan, atau pergi ke mana pun yang aku suka.
Ke hutan, ke gunung, ke pulau terpencil, ke mana pun. Asal tidak ada yang mengenaliku. Lalu, aku akan mengingat semua orang.
Mengingat mereka dengan putus asa.