Selasa, 23 Juli 2019

Canaria


Aku mencium bau laut.
Di antara tepian malam menjelang subuh. Ketika bunyi kokok ayam pertama kalinya terdengar.
Untuk sebagian orang, hidup terdengar sangat menyenangkan. Untuk sebagian lainnya lagi, hidup begitu getir. Ketika berpikir seperti itu, tanpa sadar air mataku menetes. Aku juga tidak tahu kenapa bisa menetes. Padahal, air mata itu sudah kusegel sejak lama. Jatah air mataku terkadang hanya keluar jika sudah berurusan dengan wanita atau setelah menonton film. Tapi, malam ini, sepertinya segelnya rusak juga.
Aku jarang mengeluh. Tentang hidup, tentang dunia. Aku mencoba untuk tegar dalam segala hal, yah, meskipun dulu sempat ingin bunuh diri sih. Tapi, banyak hal yang menyelamatkanku. Atau mungkin, aku saja yang pengecut dan mencari-cari alasan untuk tidak melakukannya.
Ngomong-ngomong soal laut, sebenarnya aku tidak terlalu menyukainya. Entahlah. Menurutku laut itu menyusahkan. Mungkin karena aku tidak suka air. Tapi, malam ini aku benar-benar mencium bau laut. Mungkin, alam memanggilku. Aku yang memutuskan untuk menyerah dalam semua hal malam ini, dipanggil untuk kembali padanya.
Aku terlahir berbeda, mungkin itu yang menyebabkan aku tak banyak disukai. Aku yang gagal dalam banyak hal, aku yang tak mempunyai prestasi apa-apa. Aku yang berakhir menjadi manusia gagal. Mereka yang menyesal melahirkanku. Aku yang mulai bertanya-tanya, kenapa aku dilahirkan dan hidup? Tak seperti 4 adikku yang meninggal setelah dilahirkan. Aku terus berpikir. Lalu aku mendapat sebuah kesimpulan malam ini. Aku diberi napas dan ruh, untuk menjadi sebuah contoh.
Contoh sebuah wujud kegagalan seorang manusia.
*
Aku bersyukur pernah hidup.
Aku bersyukur bisa mengenal banyak orang.
Aku bersyukur pernah dicintai seseorang.
Aku bersyukur pernah mencintai seseorang.
Aku bersyukur pernah mengejar mimpi.
Aku bersyukur mengenal kata gagal dan bangkit.
Jika kelak aku terlahir kembali…
Ah, aku tidak mau terlahir kembali.