Sabtu, 20 Agustus 2016

Tentang Ending Bleach



Jadi, sebagai mantan otaku budiman(sekarang gue agak sedikit kafir), semalem gue bikin status begini di facebook: Gue harus ngomentarin ending Bleach juga biar kekinian?
 Yang nanggepin dikit. Semesta emang lagi nyuekin gue. #Baper
Karena gue haus perhatian dan pengin dapet banyak tanggepan, gue akhirnya mutusin buat bikin ulasan soal ending Bleach yang lumayan bikin geger. Okey, mari…

Sejak mulai mengikuti dunia anime/manga secara serius sejak 2007 (sejak gue kenal warnet dan situs onemanga.com), Bleach adalah salah satu manga yang gue ikuti dan selalu gue tunggu per minggu selain One Piece dan Naruto (waktu itu gue belom kenal Gintama. LOL). Well, OP, Naruto, Bleach, sama Gintama adalah judul dari Jump yang paling gue suka (Maaf ya Katsura-sensei, D’Gray-Man terpaksa dicoret. Siapa suruh PHP).
Buat yang mengikuti sebuah cerita dengan serius, ending adalah sesuatu yang sangatlah sakral. Sakral karena sebuah cerita memang gak bisa berjalan selamanya. Sakral karena itu adalah part terpenting dalam sebuah cerita.
Sebagai penulis, gue paham banget kenapa sebuah cerita harus mempunyai ending yang bagus. Kesan sebuah cerita, menurut gue ada di endingnya. Oke, awal cerita mungkin harus berkensan, tapi kesan terdalam dan paling membekas menurut gue terletak di akhir cerita. Kayak misalnya kisah cinta elo itu. Pas awal-awal indah banget, eh ternyata elo putus karena dia selingkuh. Mana yang paling lo inget? Selingkuhnya mantan pacar lo, apa kebaikannya dulu? Heya~
Banyak temen-temen gue yang bilang kalo ending Bleach payah, megecewakan, banyak bolongnya, gitu aja, dll. Tapi menurut gue, ending manga ini emang harusnya begitu. Makanya pas kemaren baca, gue cuma bilang “Yaelah.”
Kenapa gue bilang harusnya begitu? Karena menurut gue, Bleach emang harusnya tamat sejak arc Hueco Mundo berakhir dengan kekalahan Sasouke Aizen. Mungkin banyak juga yang sependapat sama gue, tapi setelah baca Bakuman dan terjun ke dunia kepenulisan, gue sedikit ngerti kenapa Bleach gak berakhir di situ.
Gue memaafkan Kubo-sensei waktu memulai final arc (gue gak baca Fullbringer arc, btw) yang memunculkan Quinsy. Soul Society porak-poranda, Shinigami dibantai habis-habisan, Kapten dan Wakil Kapten banyak yang nyaris tewas, pokoknya kita disuguhkan sesuatu yang dasyat sejak awal arc. Gue mulai baca Bleach lagi tiap minggu, dan ketika 5 minggu lalu ada pengumuman Bleach akan tamat dalam beberapa chapter, gue cuma bisa cengo. Cengo karena menurut gue, tamatnya tuh harusnya gak gini.
Makanya, waktu baca 2 chapter terakhir, gue cuma bergumam “Yaelah” dalam hati. Gue mencoba cuek buat gak mikirin gimana nasib Divisi 0 yang katanya terkuat, tapi cuma dijadiin mainan sama Yhwach. Gue mencoba cuek dan gak mikirin siapa itu Kusajishi Yachiru sebenarnya. Gue juga mencoba cuek gak mikirin gimana nasib Yoruichi, Urahara, Nel tu, Grimmjow, terus siapa lagi ya… ahh, pokoknya gue gak peduli!
Sekarang gue cuma berharap kalo ending Gintama bisa lebih bener dari Naruto dan Bleach. Hidup gue sekarang bergantung dari seekor gorilla, gak elit amat.
But, thanks a lot, Kubo-sensei. Walaupun gue gak suka sama Ichigo, tapi terima kasih karena udah mengenalkan gue sama karakter-karakter hebat macam Urahara Kisuke, Kenpachi Zaraki, Juushiro Ukitake, Nnorita Gilga, Ulquiorra Schifer, Madarame Ikkaku dan tentu saja Coyote Stark sama gue. Makasih banget.
Ditunggu mega-hitz selanjutnya!