Sabtu, 19 Oktober 2019

Monokrom Pelangi


            "Hey, kenapa kita terlahir?"
            Kamu bertanya dengan pelan sambil memainkan rambutku yang ikal. Rasanya, sudah lama sekali kita tidak berbicara seperti ini. Kamu yang selalu sibuk dengan pekerjaan, membuat komunikasi kita jadi berjarak. Aku tidak menyalahkanmu, hanya saja, aku kadang merasa rindu. Tapi, aku selalu enggan mengatakannya.
            "Entahlah." Jawabku datar.
            Kamu paling tahu. Aku sama sekali tidak mengerti apa itu hidup. Aku heran kenapa kamu menanyakan pertanyaan itu padaku. Kamu lalu tersenyum tipis, kemudian mengusap dahiku.
            Sudah satu jam lebih kita hanya berbaring di atas tempat tidur. Terkadang kita sama-sama menatap langit-langit, lalu kita mengubah posisi untuk saling memandang. Terkadang, kita saling memunggungi. Aku sama sekali tidak tahu cara untuk memulai percakapan. Maaf.
            "Aku ingin melihat pelagi." Katamu tiba-tiba.
            "Eh, kenapa?"
            "Entahlah. Hanya saja, melihat pelangi selalu terdengar menyenangkan."
            "Mungkin."
            Kamu memandang heran. Sorot mata yang seolah bertanya "Kenapa?"
            "Apa kamu tahu, di kota yang jauh, mungkin pelanginya berwarna hitam putih." Kataku.
            "Hmm?" Kamu terlihat tidak setuju.
            "Mungkin, saat ini, di kota yang jauh itu seseorang sedang sekarat. Atau bahkan ada yang mati. Jika memikirkannya, perasaanku jadi tidak enak." Ucapku pelan.
            "Tapi, di kota yang jauh itu, seorang bayi sedang terlahir. Ada kehidupan baru lagi. Kamu tak usah khawatir." Balasmu.
            Aku selalu suka rasa optimismu. Kamu bisa melihat sesuatu dengan cerah. Juga, selalu bisa tersenyum penuh warna meskipun cuaca sedang badai. Benar-benar seperti pelangi. Tidak seperti aku yang selalu melihat sesuatu dengan pesimis dan hanya mengenal 2 warna. Mungkin, aku perlu belajar optimisme darimu. Mungkin, aku harus mulai belajar mengenali warna lain selain hitam dan putih. Mungkin, aku harus mengecup bibirmu sekarang juga. Mungkin.
            Andai saja aku punya keberanian.
***
            Langit hari ini begitu mendung, tapi hujan tak kunjung datang. Badanku mulai menggigil. Setiap sendi dalam tubuh dan tulangku terasa sakit. Rokok dan kopi sama sekali tidak bisa menghangatkannya. Tiba-tiba saja, aku mulai merasa putus asa. Kulihat lagi pesan darimu yang berkata "Tunggu aku pulang jam 9 malam ya!" yang membuat dadaku sesak. Aku mungkin lupa, tapi dadaku tak pernah merasa sesesak ini sebelumnya.
            Aku melihat jam tangan. Waktu hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Aku beranjak dari bangku taman yang kududuki. "Aku perlu membeli bunga," begitu batinku.
***
            Hujan belum juga mengguyur. Entah kenapa hari ini aku sangat menginginkan hujan. Seandainya saja aku punya sebuah kekuatan untuk mendatangkan hujan. Seandainya saja aku bisa memunculkan pelangi hari ini. Seandainya saja semua ini tidak terjadi padamu. Seandainya saja kamu masih hidup dan bisa menghiburku saat ini.
            Yui. apa aku terlalu banyak berandai dan berharap? Yui, aku aku harus bagaimana sekarang? Tanpamu, aku bisa apa?
***
            Aku membakar dupa lalu sembahyang tanpa menatap peti atau foto monokrom itu. Tak apa, Yui pasti mengerti. Dia selalu mengerti betapa pengecutnya diriku. Yui harusnya memaafkanku.
***
            Malam itu, aku memasak omelette kesukaaan Yui. Kami sudah tak bertemu hampir 2 minggu karena kesibukannya. Menjelang jam 9 malam, aku mulai becermin. Apa aku banyak berubah? Apa aku perlu mencukur kumisku yang mulai bermunculan? Tapi, bagaimana kalau Yui malah suka?
            Pertanyaan-pertanyaan konyol terus bermunculan memenuhi kepalaku. Sampai akhirnya aku mendapatkan telepon itu. Telepon yang menghancurkan diriku dan duniaku.
***
            Langit belum juga hujan. Aku jadi ragu, mendung ini berasal dari langit atau hanya khayalanku saja? Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk berpikir. Dan ketika kepalaku terasa kosong, hujan turun deras membasahi pipiku. Dalam pandangan mengabur dalam hujan itu, aku melihat sebuah lengkungan di langit. Mungkin itu yang dinamakan pelangi. Warnanya hitam putih sama seperti yang aku katakan pada Yui. Warnanya hilang seperti senyuman Yui yang tak berwarna dalam bingkai foto.
            Dalam perjalanan pulang usai upacara pemakaman, pertanyaan itu tiba-tiba muncul lagi di kepala.
            "Kenapa kita terlahir?"
            Aku belum menemukan jawabannya.