Minggu, 16 Juli 2017

Galau



Hari ini, sehabis maghrib, gue menuju rumah Michi dengan malas. Mungkin kalo bukan karena suntuk dan pengin refreshing karena akhir-akhir ini gue cuma berkutat dengan naskah, gue bakal silent hape gue dan pura-pura tidur seperti biasa. Iya, gue sekampret itu.
Meski baru sekitar 7 bulan ini sering nongkrong bareng, Michi termasuk teman lama gue. Dulu kita pertama ketemu di sebuah game online, sekitar tahun 2012. Karena ngerasa seru pas main bareng, kita saling add akun facebook. Tapi sekitar awal 2013, gue pensiun dari dunia game karena fokus nulis. Dia masih main game dan sering seliweran di timeline bahas anime atau game yang dia mainkan. Tapi beberapa waktu belakangan, dia ngilang dari facebook, dan ternyata dia tutup akun facebook-nya. Gue gak pernah nanya alesannya kenapa. Gue gak pernah nanya. Gue selalu menghormati privasi orang lain. Selalu begitu.
Sekitar pertengahan desember, kami kembali dipertemukan di sebuah forum game mobile. Setelah basa-basi panjang, gue baru tau ternyata rumahnya deket banget dari kosan gue. Deket banget. Dari situlah kita sering nongkrong bareng.
Kami jalan di sebuah mall dekat rumahnya, kemudian nongkrong di sebuah tempat duduk. Gue sibuk corat-coret buku, mengutak-atik alur komik yang lagi gue kerjain. Dia makan crepes dengan khidmat. Kemudian, dia tiba-tiba bilang, “Gue dapet beasiswa lho.”
Gue berhenti corat-coret, memandangnya, kemudian bilang, “Wih, selamat yaa~” dia cuma cekikikan.
Penasaran kenapa dia cekikikan, gue nanya “Kenapa?”
“Lo kalo lagi serius emang nyebelin ya!” Katanya.
“Lha, kayak gak tau gue aja.” Gue kembali melihat coretan gue.
“Bulan depan, gue ke Australia.”
Gue menutup buku tersebut. Kemudian menatapnya lekat.
“Hah? Serius?” tanya gue lagi yang hanya dia jawab dengan sebuah anggukan.
“Kok mendadak?”
“Udah dari bulan april. Cuma gue gak bilang aja. Hehe.” Jawabnya enteng.
Mendadak, dada gue sesak. Badan gue lemas mendengarnya. Gue gak tau artinya apa, tapi, gue tiba-tiba merasa kehilangan.
“Gue bakal baik-baik aja kok di sana. Tenang aja.” Katanya. Gue tau itu cuma buat menghibur gue.
“Mana percaya gue sama perkataan orang yang minggu lalu ngeringkuk di rumah sakit gara-gara gejala tipus.” Cibir gue.
“Dih, elo mah gitu.”
Selanjutnya kami cuma ngobrol ngalor ngidul. Mengabaikan perasaan sesak di dada, gue mencoba terus menenangkan diri. Pasca kejadian bulan agustus dan bulan oktober yang membuat gue depresi hebat, Michi adalah salah satu orang yang sedikit demi sedikit berhasil membangun gue yang biasa. Seorang lagi telah pergi. Sekarang, dia juga mau pergi. Perasaan pesimis gue kembali muncul. Apa gue bisa jadi orang yang biasa lagi? Begitu pertanyaan yang ada di dalam benak gue. Tapi, melihat dia yang sangat antusias menceritakan tentang beasiswanya, gue cuma bisa senyum dan mendoakan yang terbaik buat dia.
“Lo cepetan nyari cewek yang bisa ngurus lo deh,” ujarnya tiba-tiba.
“Reon?” tanggap gue becanda.
“Gue serius!” bentaknya sambil mengibas rambut gue.
“Yaelah. Gampang itu mah.” Gue kembali tertawa.
“Gue kenal lo ya. Alesan lo gak galau dia pergi itu karena ada gue di sini. Ya kan?”
“Wah, ternyata kita seromantis itu ya.”
“Gue juga ngerasain hal yang sama, Furqon. Alesan gue gak terlalu galau karena putus juga karena ada lo.”
“Apaan! Lo nangis di bahu gue sampe 2 jam ya!” sangkal gue.
“Itu kan pas masih anget! Abis itu mana ada gue galau lagi. Hih!” gue cuma cengar-cengir.
Gue inget waktu dia putus dulu. Dia tiba-tiba nelpon dengan suara serak, nyuruh gue ke rumahnya. Di rumahnya, nyokapnya langsung nyuruh gue masuk ke kamarnya. Belom nanya kenapa, dia meremas erat tangan kurus gue, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu gue. selanjutnya, dia hanya menangis hebat selama hampir 2 jam. Gak ada penjelasan kenapa dia nangis waktu itu, gue juga gak nanya. Gue hanya mengusap kepalanya, kemudian bilang “Semua bakal baik-baik aja.”
***
Gue pulang dengan perasaan bimbang. Di perjalan pulang dari mall tadi, kami tak mengucapkan sepatah kata pun. Di rumahnya pun gue cuma pamit sama nyokapnya, kemudian langsung beranjak pergi. Sampai kos, gue langsung tidur, mencoba buat gak kepikiran. Tapi ternyata gagal. Tulisan ini bukti gue gak baik-baik aja. Bukti gue takut kembali kehilangan orang yang sangat berharga di dalam hidup gue. Gue udah capek merasakan fase datang dan pergi. Walau gue tau, hubungan kami sebagai sahabat gak akan putus meski dia pergi jauh. Waktu gue bilang pengin ke Jepang, dia sangat antusias dengan niat gue tanpa meremehkannya sedikitpun. Kali ini gue juga harusnya mendukung dia tanpa keraguan. Mendoakan dan menyemangatinya untuk meraih impiannya.
Lalu, ditemani lagu The Wall dari For Revenge, gue kembali meyakinkan diri,
“Semua bakal baik-baik aja.”