Senin, 30 April 2018

Review Infinity War

Sepuluh tahun sudah Marvel Cinematic Universe mengudara. Dalam kurun waktu 10 tahun, Infinity War adalah film ke-19 MCU. Inovasi baru yang digagas Kevin Fiege ini terbukti sukses. Karena dari 18 film sebelum Infinity War, hanya 1 film saja yang bisa dibilang gagal. Fans-fans baru bermunculan. Dulu, banyak dari kita yang abai akan sosok Iron Man. Bahkan bagi pembaca komik Marvel sekalipun, Iron Man bukanlah sosok superhero yang layak untuk dijadikan idola. Kita lebih suka pada sosok Captain America, Fantastic Four, X-Men, Wolfverin, Hulk, atau Spider-Man. Tapi, sejak kemunculannya dalam MCU, kita mulai mengenal dan mengidolakan sosok Iron Man yang begitu melekat pada Robert Downey jr.
Infinity War menjadi film paling ditunggu tahun ini. Sejak kemunculan trailernya, perasaan gundah menyelimuti dan terus menghantui jiwa. Persis kayak inget mantan padahal lo harus move on. Hasilnya? Wow! Gue keluar dari bioskop dengan mata merah karena sempat menitikkan air mata. Pada akhirnya, kita gak akan bisa membenci Thanos. Malah sebaliknya, kita akan merasakan betapa getir perasaannya. Betapa sakit semua yang dia rasakan. Semua itu hanya untuk mewujudkan satu impian.
Gue gak pernah meragukan Russo Brothers dalam menggarap film. Mereka sudah membuktikan diri lewat The Winter Soldier dan Civil War yang begitu apik. Begitu pula dengan Infinity War. Ini adalah film terkuat Marvel sejauh ini. Semua elemen diramu dengan baik dan pas. Gak ada yang berlebihan. Kalo gak percaya, tonton aja filmnya sendiri.
Penantian panjang untuk menunggu Avengers 4 menanti. Tapi, sebelum itu, Marvel akan mengeluarkan 2 film yang akan mengantarkan kita ke Avengers 4 yaitu Ant-Man & The Wasp dan Captain Marvel. Kedua film ini kemungkinan akan sangat penting, mengingat semua film Marvel saling berhubungan. Mari kita nikmati waktu yang menyiksa ini bersama, teman-teman. Kamu gak sendiri dalam menghadapi penderitaan ini.
Rating? 100/10!
Pokoknya perfecto! Kayak kecantikannya Chelsea Islan.

Sabtu, 21 April 2018

Review Tokyo Ghoul :re


Sebagai salah satu anime yang paling ditunggu season ini, Tokyo Ghoul :re jelas jadi primadona penggemar jejepangan, khususnya anime mania. Gue sendiri menunggu dan menantikan bagaimana adaptasi Studio Pierrot pada seri :re kali ini. Karena jujur, gue sangat kecewa dengan adaptasi mereka pada 2 edisi Tokyo Ghoul sebelumnya. Kenapa? Mungkin akan gue bahas lain kali. Atau kalian bisa baca review-review lainnya di situs-situs jejepangan lainnya.
Karena seri :re sudah memasuki 3 episode, gue akan membuat review first impression-nya. Kenapa harus menunggu 3 episode dulu? Itu karena katanya, 3 episode adalah momen sakral di mana elo harus menentukan akan menonton anime tersebut atau nggak. Karena ada beberapa anime yang baru menarik setelah kita menonton beberapa episode. Ini buat sebagian orang sih. Temen gue malah harus nonton 5 episode dulu buat nentuin anime tersebut layak atau tidak untuk dilanjutkan. Kalo gue sendiri agak ketat. Episode 1 gak tertarik, bakal gue tinggal. Hal ini gue lakukan sama Violet Evergarden dan Darling in the FRANXX.
LOL!
Secara pribadi, gue bukan pembaca manga Tokyo Ghoul yang taat, karena gue sangat membenci Kaneki. Dalam artian, dia itu adalah tokoh utama terbusuk dari semua tokoh utama yang gue kenal. Yang kedua mungkin Maka Albarn dari Soul Eater. Tapi, untuk seri :re sendiri, gue sangat suka dengan kepribadian Haise Sasaki sebagai tokoh utama. Dia punya pribadi yang asik dan menyenangkan.
Fokus cerita Tokyo Ghoul :re sendiri berpusat pada keseharian Haise sebagai CCG atau Penyidik Khusus Ghoul dan tim yang dibimbingnya. LHO? Terus ke mana kah Ken Kaneki? Ya makanya ditonton aja biar tahu gimana nasib si kampret itu.
Dari awal, gue udah menurunkan ekspetasi. Kita membicarakan Pierrot yang terkenal sakarepe dewe dalam mengerjakan proyeknya. Mungkin karena udah nurunin ekspetasi, gue sangat menikmati episode pertama. Padahal, episode pertama ini mengambil dari 5 chapter awal manganya (CMIIW) yang udah pasti sangat padat. Kenapa padat? Karena Tokyo Ghoul :re adalah manga bulanan dan porsi halamannya lebih banyak dari manga mingguan. Beberapa detail manga ada yang tidak diadaptasi jadi anime, tapi entah kenapa gue ngerasa oke oke aja. Karena gue fans Juzo Suzuya di seri ini, gue sangat senang ketika melihat dia tampil kembali di seri ini. Dan gue sangat berharap Juzo masih memiliki peforma ‘gila’ seperti sebelumnya. Oiya, gue gak tahu banyak soal ini karena gue berhenti baca Tokyo Ghoul :re di chapter 8. Mungkin akan gue lanjut ketika season ini selesai.
Momen paling nyes dalam 3 episode pertama buat gue adalah ketika pertemuan Haise dan Touka untuk pertama kalinya. FAK! ITU KEREN BANGET! BIKIN BAPER, ELAH. Selebihnya ya sedang-sedang saja.
Akan ada banyak tokoh lama dari seri Tokyo Ghoul yang keluar, ditambah beberapa tokoh baru yang misterius. Ada tokoh yang bloon tapi nyenengin abis. Ada juga tokoh yang serius banget.
Aogiri akan muncul kembali dan mulai bergerak (lagi) ketika ending episode 3. Apakah akan ada perang besar antara CCG dan Aogiri lagi? Patut ditunggu.
Hal menyenangkan di Tokyo Ghoul :re kali ini juga berasal dari soundtrack-nya yang asik. Gue berani bilang kalo Tokyo Ghoul :re mempunyai soundtrack terbaik di season ini. Opening-nya berjudul Ashyxia yang dibawakan oleh Co shu Nie. Sementara ending seri ini berjudul Half yang dibawakan oleh queen bee. Coba dengerin deh. Asik.
Jadi, anime ini gue rekomendasiin apa nggak?
Buat kalian yang udah mengikuti seri Tokyo Ghoul sebelumnya, silakan tonton. Sampai di episode 3, seri ini masih menyenangkan. Semoga bisa berlanjut sampai episode-episode selanjutnya. Dan semoga aja Pierrot gak mengubah banyak hal di Tokyo Ghoul :re seperti seri-seri sebelumnya. Terus gimana buat yang sebelumnya gak nonton Tokyo Ghoul sebelumnya? Gak masalah. Karena Tokyo Ghoul :re adalah seri yang benar-benar baru. Kalo diibaratkan, ini adalah Lord of the Ring yang gak masalah ditonton meski belum pernah menonton The Hobbits sebelumnya.
Selamat menonton, teman-teman!

Teruntuk Arsene Wenger




Teruntuk Arsene Wenger,

Dalam beberapa tahun terakhir, kita tidak memiliki hubungan yang baik, bukan? Saya sudah sangat jengah dan begitu meendambakan perubahan dalam tubuh Arsenal. Saya yang dulu sangat mencintaimu ini, tiba-tiba saja berubah jadi sosok pembencimu yang sangat vokal dalam mengampanyekan tagar #WengerOut. Tapi anda bergeming dan acuh. Anda masih keras kepala seperti biasanya.
Sudah berapa tahun sejak itu ya?
Hari ini, ketika kampanye tersebut sudah loyo dan semua orang sudah menyerah, anda tiba-tiba mengumumkan akan mengundurkan diri akhir musim nanti. Semua begitu tiba-tiba. Sungguh tanpa aba-aba.
Ada sorak sorai yang riuh, ada air mata yang jatuh, ada pula jeritan histeris. Sebuah era sudah berakhir. Semua berkata demikian.
Saya termenung sejenak ketika mendengar kabar ini. Ada getir di dalam hati yang sangat susah saya deskripsikan dengan baik. Ada perasaan bahagia yang mengerubungi hati saya. Tapi, jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, saya terluka. Ternyata, masih ada sisa-sisa cinta untuk anda.
Begitu pikir saya.
Dengan pengumuman ini, mau seberapa buruknya permainan Arsenal 2 musim terakhir… pada akhirnya, kami tidak akan bisa membenci sosok anda. Anda benar-benar sangat pintar dalam mengambil momen dan naik panggung ya? Sepertinya, julukan Profesor bukanlah julukan yang salah. Haha.
Anda tidak bilang akan pensiun, jadi, apapun yang akan anda lakukan di masa depan nanti, semoga itu berjalan baik untuk anda. Masih ada banyak yang mengakui kejeniusan dan bakat anda. Semoga semuanya berjalan lancar.
Merci, Arsene!

Selasa, 10 April 2018

Awal Musim Semi


Hari ini, Rena-san kembali lagi ke rutinitasnya sehari-hari. Dia berangkat dari  rumah pagi-pagi sekali untuk menaiki kereta keberangkatan pertama agar tidak terlambat sampai ke tempat kerjanya. Seingatku, keseharian seperti ini sama sekali tidak dia tulis di dalam buku impiannya. Seingatku, dia dari dulu sangat ingin menjadi seorang artis gambar. Menggambar adalah hal yang sangat Ia senangi sejak dulu. Tapi, hidup dan dunia nyata tidak sebaik yang kami pikirkan. Impian yang sering kami umbar dan ucapkan, ternyata tidak semudah itu diwujudkan. Lalu, di sinilah kini Rena-san berada. Di dalam gerbong kereta keberangkatan pertama yang masih sepi untuk berangkat bekerja. Terkadang, dia pulang pada pukul 9 malam. Terkadang, di hari libur, dia mengerjakan pekerjaan kantornya. Terkadang, dia malah sama sekali tidak libur karena ada acara dari tempat kerjanya. Impiannya semakin terasa jauh untuk dijangkau. Tapi, Rena-san tidak menyerah. Sepulang bekerja, selelah atau selarut apapun dia sampai di rumah, satu jam sebelum pergi ke tempat tidur, Rena-san selalu menyempatkan diri untuk menggambar. Dia menggambar agar kemampuannya tidak menumpul. Agar suatu hari nanti, dia masih bisa mendapat kesempatan untuk menggapai impiannya. Begitulah Rena-san. Begitulah seharusnya Rena-san yang aku kenal.
***
Hari minggu pagi di awal April, aku bangun pagi sekali. Pagi sekali dalam artian: Aku memasang alarm pukul 9 pagi, tapi ternyata aku bangun pukul 7 pagi. Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka korden kamarku yang berwarna biru laut. Pemandangan yang menyambutku pagi itu adalah sakura yang mekar dan cuaca mendung yang menaunginya. Perasaan sesak tiba-tiba menyergap dadaku. Sepertinya, aku mengingat hal yang harusnya tidak aku ingat. Aku benci mengatakannya, tapi, aku kembali mengingat gadis itu. “Kenapa kamu masih ada di dalam kepalaku? Pergilah!” Gumamku.
Dalam sesak yang kurasakan, dalam perih yang menyerang hatiku hebat. Aku terpaku dan memandang sakura dengan gundah. “Bunga sakura jatuh dalam kecepatan 5 centimeter per detik.” Kataku. Kalimat itu aku dapatkan dari sebuah film Makoto Shinkai. Film yang membuatku hanyut dalam perasaan tidak nyaman. Tapi, entah mengapa, aku sangat menyukai film tersebut.
Sebelum aku hanyut dalam perasaan yang siap menenggelamkanku dalam kegundahan, handphone-ku berbunyi. Sebuah pesan dari Rena-san yang berbunyi “Kau sudah bangun? Kalau kau terlambat, aku akan menghajarmu.” Berhasil mengembalikanku kembali ke dunia nyata. Dia, sekali lagi sudah menyelamatkanku.
***
Aku mengenal Rena-san sejak dia masih duduk di bangku SMA. Meski dia lebih muda dariku 4 tahun, aku menyematkan panggilan “-san” di belakang namanya karena aku menghormatinya. Kau mungkin akan tertawa. Tapi, aku benar-benar menghormatinya dari lubuk hatiku yang paling dalam. Jika ditanya alasannya, aku juga tidak terlalu ingat. Hanya saja, dari sekian banyak orang yang aku kenal, Rena-san adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidupku.
Setelah mendapatkan pesan bernada ancaman darinya, aku langsung bersiap dan bergegas. Hari itu, kami berjanji akan menonton sebuah film. Janji yang sudah beberapa kali tertunda karena kesibukannya. Bahkan, kami harus mengubah beberapa kali film apa yang akan kami tonton sebelumnya. Yah, aku tidak menyalahkannya. Meski kadang Rena-san selalu takut jika aku akan marah karena beberapa kali menunda janji kami. Aku mengerti, dia kini sudah bekerja. Dia sudah punya tanggung jawab lain karena pekerjaannya. Sementara aku? Aku masih saja berkutat dengan diriku sendiri.
 Sudah 7 tahun aku mengenalnya, dan dia sama sekali tidak berubah. Yah, dari sejak SMA pun, dia sudah memiliki pikiran orang tua. Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Tapi, sejak dulu, dia paling pintar dalam menasehatiku. Tunggu. Apa mungkin ini sebabnya aku menghormatinya, ya?
***
Hari itu, Rena-san memakai baju pink dengan rok panjang berwarna caramel. Setelah membeli tiket film, kami bercengkrama sambil berkeliling terlebih dahulu. Masih ada waktu sekitar 45 menit sebelum film diputar. Seperti biasa, kami mengobrol tanpa jeda. Entah kenapa, selalu ada bahan obrolan jika aku sedang bersamanya. Rena-san masih bawel seperti biasanya. Aku sedikit lega. Kupikir, dia akan menjadi sedikit murung karena pekerjaan barunya. Yah, mungkin aku saja yang terlalu khawatir.
“Editor penerbit itu kemarin menghubungiku.” Kataku membuka percakapan baru.
“Benarkah? Lalu dia bilang apa?” tanyanya dengan sorot mata antusias.
“Yah, kau tahu? Ada beberapa revisi. Aku benar-benar berharap komik itu akan segera diterbitkan di majalah.”
“Yeay! Selamat!” Serunya. “Aku akan menantikannya. Aku ingin membacanya. Sungguh.” Aku hanya tersenyum mendengarnya mengucapkan kalimat itu. Aku bingung harus berkata apa lagi.
Aku paling tahu Rena-san lah yang sangat ingin debut di majalah sebagai mangaka. Aku paling tahu dia terus menggambar disela-sela kesibukan barunya sebagai pekerja. Tapi, saat itu, aku hanya berseru dalam hati, “Tunggulah! Aku akan berusaha untuk bagianmu juga!”
***
 Aku pernah beberapa kali patah hati. Dia mengetahui beberapa cerita-cerita tersebut. Dia tahu kisah cinta dari yang aku masih sangat menggebu-gebu soal urusan asmara, sampai akhirnya kini aku merasa hatiku sudah mati rasa. Di dalam perjalanan pulang dari bioskop, dia tiba-tiba berkata “Lain kali, kalau kita berdua janjian lagi, pastikan kau tidur yang cukup.” Mendengarnya, aku hanya tersenyum dan berkata dalam hati, “Ah, sial. Aku ketahuan.”
“Kau benar-benar menyebalkan saat kurang tidur.” Katanya lagi.
“Kenapa?” Tanyaku dengan nada meledek.
“Masih mau kujelaskan?” Dia menatapku sambil mengacungkan kepalan tangannya ke wajahku. Aku hanya bisa tertawa kecil saat melihatnya melakukan itu. Aku sudah tidak punya alibi atau alasan lagi untuk mengelak. Kurang tidur benar-benar membuat otakku buntu.
Kami duduk di sebuah bangku taman sambil menikmati beer kalengan yang kami beli di mesin penjual otomatis. Juga seporsi takoyaki hangat yang sudah membuatku kenyang hanya dengan melihatnya saja. Bulatannya benar-benar sangat besar.
“Hei, kau cepatlah punya pasangan.” Ujarnya tiba-tiba.
“Hah? Kenapa? Kok tiba-tiba bilang begitu?”
“Minimal kau harus punya teman untuk berbagi. Kau selalu memendam perasanmu. Benar-benar menyebalkan.”
“Rena-san, kau tahu kan kenapa aku begini? Aku rasa, aku sudah tidak bisa lagi jatuh cinta.”
“Dasar keras kepala!” Bentaknya sambil memukul kepalaku.
Setelah mengatakan itu, dia benar-benar diam. Kini, dia sibuk mengunyah takoyaki-takoyaki itu. Sementara itu, aku juga diam sambil menenggak beer dan memandangi sakura.
“Rena-san.”
“Apa?”
“Mungkin, kalau harus memiliki pasangan, kau adalah pilihan pertamaku.”
“Apa kau serius?” tanyanya yang hanya kujawab dengan sebuah anggukan.
“Kalau begitu, kau harus bisa mandiri. Kau harus bisa menghidupi dirimu tanpa kesusahan lebih dulu. Saat penghasilanmu sudah cukup baik, nanti kita bicarakan ini lagi.” Katanya.
“Haha. Baiklah.” Kataku.
***
Malam itu, angin musim semi menembus hatiku dan membuat tubuhku terasa hangat. Sekali lagi, Rena-san menyelamatkanku. Dia memberikanku tujuan hidup baru. Kurasa, dia hanya menyemangatiku dengan cara yang berbeda. Malam itu, aku bersumpah. Aku akan berusaha menepati apa yang dia minta. Lalu aku juga akan mewakilinya untuk debut di majalah sebagai mangaka. Lalu, jika saatnya sudah tiba, aku benar-benar ingin hidup bersamanya.