Selasa, 10 April 2018

Awal Musim Semi


Hari ini, Rena-san kembali lagi ke rutinitasnya sehari-hari. Dia berangkat dari  rumah pagi-pagi sekali untuk menaiki kereta keberangkatan pertama agar tidak terlambat sampai ke tempat kerjanya. Seingatku, keseharian seperti ini sama sekali tidak dia tulis di dalam buku impiannya. Seingatku, dia dari dulu sangat ingin menjadi seorang artis gambar. Menggambar adalah hal yang sangat Ia senangi sejak dulu. Tapi, hidup dan dunia nyata tidak sebaik yang kami pikirkan. Impian yang sering kami umbar dan ucapkan, ternyata tidak semudah itu diwujudkan. Lalu, di sinilah kini Rena-san berada. Di dalam gerbong kereta keberangkatan pertama yang masih sepi untuk berangkat bekerja. Terkadang, dia pulang pada pukul 9 malam. Terkadang, di hari libur, dia mengerjakan pekerjaan kantornya. Terkadang, dia malah sama sekali tidak libur karena ada acara dari tempat kerjanya. Impiannya semakin terasa jauh untuk dijangkau. Tapi, Rena-san tidak menyerah. Sepulang bekerja, selelah atau selarut apapun dia sampai di rumah, satu jam sebelum pergi ke tempat tidur, Rena-san selalu menyempatkan diri untuk menggambar. Dia menggambar agar kemampuannya tidak menumpul. Agar suatu hari nanti, dia masih bisa mendapat kesempatan untuk menggapai impiannya. Begitulah Rena-san. Begitulah seharusnya Rena-san yang aku kenal.
***
Hari minggu pagi di awal April, aku bangun pagi sekali. Pagi sekali dalam artian: Aku memasang alarm pukul 9 pagi, tapi ternyata aku bangun pukul 7 pagi. Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka korden kamarku yang berwarna biru laut. Pemandangan yang menyambutku pagi itu adalah sakura yang mekar dan cuaca mendung yang menaunginya. Perasaan sesak tiba-tiba menyergap dadaku. Sepertinya, aku mengingat hal yang harusnya tidak aku ingat. Aku benci mengatakannya, tapi, aku kembali mengingat gadis itu. “Kenapa kamu masih ada di dalam kepalaku? Pergilah!” Gumamku.
Dalam sesak yang kurasakan, dalam perih yang menyerang hatiku hebat. Aku terpaku dan memandang sakura dengan gundah. “Bunga sakura jatuh dalam kecepatan 5 centimeter per detik.” Kataku. Kalimat itu aku dapatkan dari sebuah film Makoto Shinkai. Film yang membuatku hanyut dalam perasaan tidak nyaman. Tapi, entah mengapa, aku sangat menyukai film tersebut.
Sebelum aku hanyut dalam perasaan yang siap menenggelamkanku dalam kegundahan, handphone-ku berbunyi. Sebuah pesan dari Rena-san yang berbunyi “Kau sudah bangun? Kalau kau terlambat, aku akan menghajarmu.” Berhasil mengembalikanku kembali ke dunia nyata. Dia, sekali lagi sudah menyelamatkanku.
***
Aku mengenal Rena-san sejak dia masih duduk di bangku SMA. Meski dia lebih muda dariku 4 tahun, aku menyematkan panggilan “-san” di belakang namanya karena aku menghormatinya. Kau mungkin akan tertawa. Tapi, aku benar-benar menghormatinya dari lubuk hatiku yang paling dalam. Jika ditanya alasannya, aku juga tidak terlalu ingat. Hanya saja, dari sekian banyak orang yang aku kenal, Rena-san adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidupku.
Setelah mendapatkan pesan bernada ancaman darinya, aku langsung bersiap dan bergegas. Hari itu, kami berjanji akan menonton sebuah film. Janji yang sudah beberapa kali tertunda karena kesibukannya. Bahkan, kami harus mengubah beberapa kali film apa yang akan kami tonton sebelumnya. Yah, aku tidak menyalahkannya. Meski kadang Rena-san selalu takut jika aku akan marah karena beberapa kali menunda janji kami. Aku mengerti, dia kini sudah bekerja. Dia sudah punya tanggung jawab lain karena pekerjaannya. Sementara aku? Aku masih saja berkutat dengan diriku sendiri.
 Sudah 7 tahun aku mengenalnya, dan dia sama sekali tidak berubah. Yah, dari sejak SMA pun, dia sudah memiliki pikiran orang tua. Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Tapi, sejak dulu, dia paling pintar dalam menasehatiku. Tunggu. Apa mungkin ini sebabnya aku menghormatinya, ya?
***
Hari itu, Rena-san memakai baju pink dengan rok panjang berwarna caramel. Setelah membeli tiket film, kami bercengkrama sambil berkeliling terlebih dahulu. Masih ada waktu sekitar 45 menit sebelum film diputar. Seperti biasa, kami mengobrol tanpa jeda. Entah kenapa, selalu ada bahan obrolan jika aku sedang bersamanya. Rena-san masih bawel seperti biasanya. Aku sedikit lega. Kupikir, dia akan menjadi sedikit murung karena pekerjaan barunya. Yah, mungkin aku saja yang terlalu khawatir.
“Editor penerbit itu kemarin menghubungiku.” Kataku membuka percakapan baru.
“Benarkah? Lalu dia bilang apa?” tanyanya dengan sorot mata antusias.
“Yah, kau tahu? Ada beberapa revisi. Aku benar-benar berharap komik itu akan segera diterbitkan di majalah.”
“Yeay! Selamat!” Serunya. “Aku akan menantikannya. Aku ingin membacanya. Sungguh.” Aku hanya tersenyum mendengarnya mengucapkan kalimat itu. Aku bingung harus berkata apa lagi.
Aku paling tahu Rena-san lah yang sangat ingin debut di majalah sebagai mangaka. Aku paling tahu dia terus menggambar disela-sela kesibukan barunya sebagai pekerja. Tapi, saat itu, aku hanya berseru dalam hati, “Tunggulah! Aku akan berusaha untuk bagianmu juga!”
***
 Aku pernah beberapa kali patah hati. Dia mengetahui beberapa cerita-cerita tersebut. Dia tahu kisah cinta dari yang aku masih sangat menggebu-gebu soal urusan asmara, sampai akhirnya kini aku merasa hatiku sudah mati rasa. Di dalam perjalanan pulang dari bioskop, dia tiba-tiba berkata “Lain kali, kalau kita berdua janjian lagi, pastikan kau tidur yang cukup.” Mendengarnya, aku hanya tersenyum dan berkata dalam hati, “Ah, sial. Aku ketahuan.”
“Kau benar-benar menyebalkan saat kurang tidur.” Katanya lagi.
“Kenapa?” Tanyaku dengan nada meledek.
“Masih mau kujelaskan?” Dia menatapku sambil mengacungkan kepalan tangannya ke wajahku. Aku hanya bisa tertawa kecil saat melihatnya melakukan itu. Aku sudah tidak punya alibi atau alasan lagi untuk mengelak. Kurang tidur benar-benar membuat otakku buntu.
Kami duduk di sebuah bangku taman sambil menikmati beer kalengan yang kami beli di mesin penjual otomatis. Juga seporsi takoyaki hangat yang sudah membuatku kenyang hanya dengan melihatnya saja. Bulatannya benar-benar sangat besar.
“Hei, kau cepatlah punya pasangan.” Ujarnya tiba-tiba.
“Hah? Kenapa? Kok tiba-tiba bilang begitu?”
“Minimal kau harus punya teman untuk berbagi. Kau selalu memendam perasanmu. Benar-benar menyebalkan.”
“Rena-san, kau tahu kan kenapa aku begini? Aku rasa, aku sudah tidak bisa lagi jatuh cinta.”
“Dasar keras kepala!” Bentaknya sambil memukul kepalaku.
Setelah mengatakan itu, dia benar-benar diam. Kini, dia sibuk mengunyah takoyaki-takoyaki itu. Sementara itu, aku juga diam sambil menenggak beer dan memandangi sakura.
“Rena-san.”
“Apa?”
“Mungkin, kalau harus memiliki pasangan, kau adalah pilihan pertamaku.”
“Apa kau serius?” tanyanya yang hanya kujawab dengan sebuah anggukan.
“Kalau begitu, kau harus bisa mandiri. Kau harus bisa menghidupi dirimu tanpa kesusahan lebih dulu. Saat penghasilanmu sudah cukup baik, nanti kita bicarakan ini lagi.” Katanya.
“Haha. Baiklah.” Kataku.
***
Malam itu, angin musim semi menembus hatiku dan membuat tubuhku terasa hangat. Sekali lagi, Rena-san menyelamatkanku. Dia memberikanku tujuan hidup baru. Kurasa, dia hanya menyemangatiku dengan cara yang berbeda. Malam itu, aku bersumpah. Aku akan berusaha menepati apa yang dia minta. Lalu aku juga akan mewakilinya untuk debut di majalah sebagai mangaka. Lalu, jika saatnya sudah tiba, aku benar-benar ingin hidup bersamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar