Hari ini, Rena-san kembali lagi ke
rutinitasnya sehari-hari. Dia berangkat dari rumah pagi-pagi sekali untuk menaiki kereta
keberangkatan pertama agar tidak terlambat sampai ke tempat kerjanya. Seingatku,
keseharian seperti ini sama sekali tidak dia tulis di dalam buku impiannya.
Seingatku, dia dari dulu sangat ingin menjadi seorang artis gambar. Menggambar
adalah hal yang sangat Ia senangi sejak dulu. Tapi, hidup dan dunia nyata tidak
sebaik yang kami pikirkan. Impian yang sering kami umbar dan ucapkan, ternyata
tidak semudah itu diwujudkan. Lalu, di sinilah kini Rena-san berada. Di dalam
gerbong kereta keberangkatan pertama yang masih sepi untuk berangkat bekerja.
Terkadang, dia pulang pada pukul 9 malam. Terkadang, di hari libur, dia
mengerjakan pekerjaan kantornya. Terkadang, dia malah sama sekali tidak libur
karena ada acara dari tempat kerjanya. Impiannya semakin terasa jauh untuk
dijangkau. Tapi, Rena-san tidak menyerah. Sepulang bekerja, selelah atau
selarut apapun dia sampai di rumah, satu jam sebelum pergi ke tempat tidur,
Rena-san selalu menyempatkan diri untuk menggambar. Dia menggambar agar
kemampuannya tidak menumpul. Agar suatu hari nanti, dia masih bisa mendapat
kesempatan untuk menggapai impiannya. Begitulah Rena-san. Begitulah seharusnya
Rena-san yang aku kenal.
***
Hari minggu pagi di awal April, aku
bangun pagi sekali. Pagi sekali dalam artian: Aku memasang alarm pukul 9 pagi,
tapi ternyata aku bangun pukul 7 pagi. Aku beranjak dari tempat tidur dan
membuka korden kamarku yang berwarna biru laut. Pemandangan yang menyambutku
pagi itu adalah sakura yang mekar dan cuaca mendung yang menaunginya. Perasaan
sesak tiba-tiba menyergap dadaku. Sepertinya, aku mengingat hal yang harusnya
tidak aku ingat. Aku benci mengatakannya, tapi, aku kembali mengingat gadis
itu. “Kenapa kamu masih ada di dalam kepalaku? Pergilah!” Gumamku.
Dalam sesak yang kurasakan, dalam
perih yang menyerang hatiku hebat. Aku terpaku dan memandang sakura dengan
gundah. “Bunga sakura jatuh dalam kecepatan 5 centimeter per detik.” Kataku.
Kalimat itu aku dapatkan dari sebuah film Makoto Shinkai. Film yang membuatku hanyut
dalam perasaan tidak nyaman. Tapi, entah mengapa, aku sangat menyukai film
tersebut.
Sebelum aku hanyut dalam perasaan
yang siap menenggelamkanku dalam kegundahan, handphone-ku berbunyi. Sebuah pesan dari Rena-san yang berbunyi “Kau sudah bangun? Kalau kau terlambat, aku
akan menghajarmu.” Berhasil mengembalikanku kembali ke dunia nyata. Dia,
sekali lagi sudah menyelamatkanku.
***
Aku mengenal Rena-san sejak dia masih
duduk di bangku SMA. Meski dia lebih muda dariku 4 tahun, aku menyematkan
panggilan “-san” di belakang namanya karena aku menghormatinya. Kau mungkin
akan tertawa. Tapi, aku benar-benar menghormatinya dari lubuk hatiku yang
paling dalam. Jika ditanya alasannya, aku juga tidak terlalu ingat. Hanya saja,
dari sekian banyak orang yang aku kenal, Rena-san adalah orang yang paling
berpengaruh dalam hidupku.
Setelah mendapatkan pesan bernada
ancaman darinya, aku langsung bersiap dan bergegas. Hari itu, kami berjanji
akan menonton sebuah film. Janji yang sudah beberapa kali tertunda karena
kesibukannya. Bahkan, kami harus mengubah beberapa kali film apa yang akan kami
tonton sebelumnya. Yah, aku tidak menyalahkannya. Meski kadang Rena-san selalu
takut jika aku akan marah karena beberapa kali menunda janji kami. Aku
mengerti, dia kini sudah bekerja. Dia sudah punya tanggung jawab lain karena
pekerjaannya. Sementara aku? Aku masih saja berkutat dengan diriku sendiri.
Sudah 7 tahun aku mengenalnya, dan dia sama
sekali tidak berubah. Yah, dari sejak SMA pun, dia sudah memiliki pikiran orang
tua. Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Tapi, sejak dulu, dia paling
pintar dalam menasehatiku. Tunggu. Apa mungkin ini sebabnya aku menghormatinya,
ya?
***
Hari itu, Rena-san memakai baju pink
dengan rok panjang berwarna caramel. Setelah membeli tiket film, kami bercengkrama
sambil berkeliling terlebih dahulu. Masih ada waktu sekitar 45 menit sebelum
film diputar. Seperti biasa, kami mengobrol tanpa jeda. Entah kenapa, selalu
ada bahan obrolan jika aku sedang bersamanya. Rena-san masih bawel seperti
biasanya. Aku sedikit lega. Kupikir, dia akan menjadi sedikit murung karena
pekerjaan barunya. Yah, mungkin aku saja yang terlalu khawatir.
“Editor penerbit itu kemarin
menghubungiku.” Kataku membuka percakapan baru.
“Benarkah? Lalu dia bilang apa?”
tanyanya dengan sorot mata antusias.
“Yah, kau tahu? Ada beberapa revisi.
Aku benar-benar berharap komik itu akan segera diterbitkan di majalah.”
“Yeay! Selamat!” Serunya. “Aku akan
menantikannya. Aku ingin membacanya. Sungguh.” Aku hanya tersenyum mendengarnya
mengucapkan kalimat itu. Aku bingung harus berkata apa lagi.
Aku paling tahu Rena-san lah yang
sangat ingin debut di majalah sebagai mangaka. Aku paling tahu dia terus
menggambar disela-sela kesibukan barunya sebagai pekerja. Tapi, saat itu, aku
hanya berseru dalam hati, “Tunggulah! Aku akan berusaha untuk bagianmu juga!”
***
Aku pernah beberapa kali patah hati. Dia mengetahui
beberapa cerita-cerita tersebut. Dia tahu kisah cinta dari yang aku masih
sangat menggebu-gebu soal urusan asmara, sampai akhirnya kini aku merasa hatiku
sudah mati rasa. Di dalam perjalanan pulang dari bioskop, dia tiba-tiba berkata
“Lain kali, kalau kita berdua janjian lagi, pastikan kau tidur yang cukup.”
Mendengarnya, aku hanya tersenyum dan berkata dalam hati, “Ah, sial. Aku
ketahuan.”
“Kau benar-benar menyebalkan saat
kurang tidur.” Katanya lagi.
“Kenapa?” Tanyaku dengan nada
meledek.
“Masih mau kujelaskan?” Dia menatapku
sambil mengacungkan kepalan tangannya ke wajahku. Aku hanya bisa tertawa kecil
saat melihatnya melakukan itu. Aku sudah tidak punya alibi atau alasan lagi
untuk mengelak. Kurang tidur benar-benar membuat otakku buntu.
Kami duduk di sebuah bangku taman sambil
menikmati beer kalengan yang kami beli di mesin penjual otomatis. Juga seporsi
takoyaki hangat yang sudah membuatku kenyang hanya dengan melihatnya saja. Bulatannya
benar-benar sangat besar.
“Hei, kau cepatlah punya pasangan.”
Ujarnya tiba-tiba.
“Hah? Kenapa? Kok tiba-tiba bilang
begitu?”
“Minimal kau harus punya teman untuk
berbagi. Kau selalu memendam perasanmu. Benar-benar menyebalkan.”
“Rena-san, kau tahu kan kenapa aku
begini? Aku rasa, aku sudah tidak bisa lagi jatuh cinta.”
“Dasar keras kepala!” Bentaknya
sambil memukul kepalaku.
Setelah mengatakan itu, dia
benar-benar diam. Kini, dia sibuk mengunyah takoyaki-takoyaki itu. Sementara
itu, aku juga diam sambil menenggak beer dan memandangi sakura.
“Rena-san.”
“Apa?”
“Mungkin, kalau harus memiliki
pasangan, kau adalah pilihan pertamaku.”
“Apa kau serius?” tanyanya yang hanya
kujawab dengan sebuah anggukan.
“Kalau begitu, kau harus bisa
mandiri. Kau harus bisa menghidupi dirimu tanpa kesusahan lebih dulu. Saat penghasilanmu
sudah cukup baik, nanti kita bicarakan ini lagi.” Katanya.
“Haha. Baiklah.” Kataku.
***
Malam itu, angin musim semi menembus hatiku
dan membuat tubuhku terasa hangat. Sekali lagi, Rena-san menyelamatkanku. Dia
memberikanku tujuan hidup baru. Kurasa, dia hanya menyemangatiku dengan cara
yang berbeda. Malam itu, aku bersumpah. Aku akan berusaha menepati apa yang dia
minta. Lalu aku juga akan mewakilinya untuk debut di majalah sebagai mangaka. Lalu,
jika saatnya sudah tiba, aku benar-benar ingin hidup bersamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar