Rabu, 18 Juli 2018

Moonlit Garden


Aku merindukan masa-masa di mana kehidupan berjalan dengan sederhana dan biasa saja. Padang rumput yang hijau sepanjang mata memandang, suara domba-domba yang saling bersahutan, nyanyian Paman Ek yang penuh semangat pada pagi hari, dan suara angin yang membuat hati tenang. Hari-hari yang damai.
Kebohongan yang indah.
***
Aku masih mengingatnya dengan baik. Hari itu, usiaku genap menginjak 15 tahun. Usia di mana seorang kurcaci menentukan pilihan hidupnya. Seorang kurcaci biasanya menghabiskan hidupnya dengan menjadi seorang penggembala, berkebun, menambang, atau menjadi seorang pandai besi. Kampung halamanku, Moonlit Garden, adalah tempat di mana banyak pandai besi berbakat terlahir. Bahkan ada pepatah yang katanya berusia ratusan tahun berbunyi; Jika ingin menaklukkan dunia, pergilah ke Moonlit Garden. Maksudnya, Moonlit Garden menyediakan semua kebutuhan para petualang dengan kualitas terbaik. Armor yang kuat, pedang yang tajam, perisai yang tangguh, semuanya bisa didapatkan di sini. Di desa indah dan ramah bernama Moonlit Garden.
Sejak kecil, aku selalu memandang para petualang dengan takjub. Menurutku, memakai armor dan bersenjatakan pedang atau tombak itu sangatlah keren. Kelak, aku ingin seperti mereka. Begitu pikirku.
Impian yang selalu jadi bahan olok-olokan teman-teman dan keluargaku. Bukan tanpa alasan mereka mengoloknya. Tinggi maksimal kucaci hanyalah 120 cm. Tinggi rata-rata kurcaci biasanya berkisar antara 90 sampai 110 centimeter. Dari ukuran tubuh saja, kami bakal kerepotan sendiri. Kami tipe bukanlah petarung. Begitu pikir kebanyakan kurcaci-kurcaci lain. Tapi, aku tidak berpikir demikian. Tekadku sudah bulat. Aku akan menjadi seorang petualang ketika dewasa nanti.
***
Hari itu, untuk pertama kalinya aku melihat lautan api. Lautan api yang melahap seluruh Moonlit Garden. Seekor naga terus-menerus menyemburkan api dari mulutnya.
Dengan tubuh bergetar dan rasa takut luar biasa, aku berucap lirih, “Hentikan…”
“Kumohon hentikan.” Kataku lagi.
“HENTIKAAAANNN!” teriakku.
Beberapa detik kemudian, tubuhku terangkat. Seorang petualang—yang akhirnya kutahu adalah Igris, menggendongku dan memasuki hutan.
“Itu adalah seorang pengendara naga! Kita butuh bantuan untuk mengalahkannya!” Kata Igris sambil terus memasuki hutan semakin dalam.
Pemandangan terakhir yang kuingat hari itu adalah Moonlit Garden yang sudah berubah menjadi lautan api dan mulai menghilang diantara pepohonan dan gelapnya hutan.
***
Hari ini, aku kembali memimpikan hari itu. Hari di mana aku genap berusia 15 tahun. Moonlit Garden mempunyai tradisi unik yang mengharuskan kurcaci yang berusia 15 tahun naik ke panggung di alun-alun desa dan memproklamirkan dirinya memutuskan akan menjadi apa dan disaksikan oleh hampir seluruh penduduk desa. Di tengah-tengah perayaan tersebut, aku memproklamirkan diri jika aku akan menjadi seorang petualang. Mendengar hal itu, sebagian penduduk desa tertawa terbahak-bahak, sebagian mengolok, dan kulihat keluargaku mengata-ngataiku. Melihat hal itu, aku tiba-tiba saja berteriak dengan keras, “Aku harap kalian semua menghilang saja!” kemudian, aku turun dari panggung dan berlari ke arah utara desa dan memasuki hutan untuk menenangkan diri. Hal yang selalu aku lakukan ketika aku merasa sedih atau kesal.
Sore itu, aku melihat lautan api untuk pertama kalinya. Api yang baru bisa dipadamkan 10 hari kemudian. Aku memasuki reruntuhan Moonlit Garden dengan perasaan getir. Semuanya menjadi abu. Semua penduduk desa menghilang seperti yang aku harapkan. Tapi, meskipun itu terwujud. Entah kenapa dadaku terasa sangat sakit. Mataku terasa terbakar. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis sejadi-jadinya.
Saat itu, dalam hati aku berteriak, “Aku tidak ingin kalian semua menghilang!”