Kamis, 11 Juni 2015

Seperti Kemarin



Senja bergeser menjadi malam. Yoga masih terduduk lesu di sebuah bangku taman ber-cat putih di samping lampu taman yang bersinar remang.
“Kayaknya, kita, cukup sampai disini aja.”
Kalimat itu terlontar dari mulut mungil wanita yang sangat amat Yoga sayangi. Kalimat yang tak pernah terpikir di kepalanya, meski itu hanya pengandaian saja. Alasannya sudah jelas. Karena mereka saling mencintai. Dan sebelumnya tak ada masalah sedikitpun diantara mereka.
Dan kini, dengan tiba-tiba dan begitu sepihak. Dia memutuskan tali cinta yang sudah terjalin selama satu tahun itu. Wanita itu tak memberi kesempatan Yoga untuk mempertahankannya. Dia tak memberikannya.
“Paling gak, izinin gue buat mencegah kamu pergi, Nina. Kenapa kamu bisa setega ini?” rontanya dalam hati.
***
Nina.
Aku meninggalkannya dengan keji, tanpa memberinya kesempatan untuk meyakinkanku. Aku tahu, dia tak akan memaksaku untuk memberikan sebuah penjelasan. Dia pria yang baik. Terlalu baik malah. Dia langsung duduk dengan lemas di bangku itu. Dia meremas-remas rambut pendeknya dengan kuat. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Membiarkan rasa frustasinya meledak-ledak seperti itu. Membiarkan depresi menggerogotinya tubuhnya. Tapi, aku tak lagi bisa mencintaimu. Maafkan aku, sayang.
Aku beranjak. Meninggalkan kekasihku itu dengan semua kebingungan yang sedang merasukinya. Maaf, tapi aku harus segera beranjak dari hadapannya, sebelum air mataku terjatuh. Sekali lagi, maafkan aku..
***
Yoga
Aku mengangkat kepala, kemudian melihat ke langit yang gelap. Hanya sedikit bintang yang aku lihat saat ini. Rasanya, suasana malam ini sama seperti malam itu. Malam ketika aku menemukan sesosok wanita berjaket tipis, duduk sendirian di bangku taman ini. Wanita yang terlihat lemah karena sesekali ada batuk yang dia keluaran dari mulutnya. Dia terlihat membaca sebuah komik roman Jepang yang dari cover-nya saja sudah membuatku tak tertarik.
Aku meminta izin untuk menempati bangku yang sama dengannya, karena tak ada lagi bangku taman yang kosong selain yang dia tempati. Dia hanya menanggapiku dengan sebuah anggukan, kemudian, aku duduk dengan sedikit rasa canggung yang merasuk. Kuhela nafas panjang, kemudian mulai menyumpal telingaku dengan headset yang sudah memainkan sebuah lagu. Dan kemudian, duniaku kembali berputar.

Aku hanya seorang mahasiswa yang jauh dari keluargaku. Di kota ini, aku hanya sebatang kara. Karena tak begitu pandai bergaul, aku selalu melarikan diri ke taman ini untuk mengusir kesunyian. Menyedihkan, bukan?

Aku tersadar dari lamunanku ketika dia dengan tiba-tiba menarik-narik kausku. Kutoleh dia, dan kutatap dengan penuh tanda tanya, ketika tanpa sadar mulutku berucap “Ada apa?” yang dia jawab hanya dengan menggerak-gerakan mulutnya tanpa suara. Karena kebingungan, aku kembali berucap “Hah?” yang hanya dia tanggapi dengan muka kesal dan mengisyaratkan aku untuk mencabut headset yang menyumpal telingaku. Ahh maafkan aku. Batinku.
Aku dengan buru-buru melepaskan benda itu, dan kembali bertanya “Ada apa?” yang kini dia tanggapi dengan ekspresi muka sebal.
“Ma-maaf.” Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Padahal, aku tak perlu melakukannya pada orang asing, kan?
“Tadi aku nanya, kamu punya air minum nggak?” mendengarnya, aku kembali terpaku. Wanita ini, tanpa canggung meminta air minum pada orang asing sepertiku.
“Hellooowww~ anybody here?” pekiknya sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajahku.
Aku tersadar, dan kemudian bergegas membuka tas kecil yang selalu aku bawa kemana-mana. Ada beberapa snack dan sebotol air mineral di dalamnya.
Aku menyerahkan air mineral itu, yang langsung dia minum sampai setengah botol. Aku terbengong melihatnya. Dia, seperti bukan seorang wanita saja.
“Huaaahh.. segarnyaa~” teriaknya puas. “Makasih yaa..” lanjutnya. Yang hanya kubalas dengan berkata “Sama-sama.”

Setelah interaksi itu, kami kembali dengan dunia kami lagi. Dia dengan membaca komik, dan aku dengan musik yang sedang membanjiri telingaku. Jeda antara interaksi kami dan diamnya kami berlangsung cukup lama, ketika tiba-tiba dia berdiri dari bangku yang kami duduki. Aku meliriknya, dia terlihat menggerakkan mulutnya sambil tersenyum, kemudian berlalu dari hadapanku. Sepertinya, tadi dia pamit padaku, atau mungkin berterima kasih untuk air mineral yang kuberikan tadi. Entahlah.

Esoknya, aku kembali mendapatinya di bangku taman itu. Kali ini dengan sebuah novel fantasi yang terkenal. Aku menyapanya, yang kemudian dia tanggapi dengan sebuah senyuman yang manis. Esoknya lagi, kami bertemu lagi. Esoknya lagi, dan seterusnya. Karena sering bertemu, aku jadi penasaran dan memulai sebuah obrolan dengan pertanyaan “Kamu sering banget ke sini, ya?” yang kemudian dia jawab, “Kamu juga.” dan setelahnya, obrolan kami mengalir bagai air. Tak terlalu cepat, tapi terus menerus. Dan setelah beberapa bulan, kami akhirnya jadian.
Aku masih ingat hari itu. Di sebuah sore ketika kami janjian untuk menikmati senja bersama, aku bilang aku menyukainya. Dan dengan sedikit ekspresi malu-malu, dia juga bilang kalau dia menyukaiku. Kemudian, aku memetik sebuah bunga yang tak kutahu namanya, di taman itu dengan maksud akan kuberikan padanya. Bukannya senang, dia malah memarahiku. Dia marah karena tak seharusnya aku memetik bunga itu. Dia bilang kalau perbuatanku itu bisa membuat tanaman rusak. Dan bisa ditebak, aku kembali meminta maaf. Haha.
***
Aku tersadar dari lamunanku. Semakin kuingat, rasa sakit itu terus terasa dalam dadaku. Seperti ada ribuan jarum yang menghujam dan menusuk dadaku. Kulihat handphone-ku dan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku beranjak dari dudukku, kemudian kutatap lagi langit yang kini awannya berwarna sedikit abu-abu karena bulan sedang bersinar terang. Bulan itu bersinar meskipun sendiri. Apa aku juga bisa seperti itu?
Aku kembali menghela nafas. Kemudian kulangkahkan kakiku untuk meninggalkan taman ini. Meninggalkannya perlahan, tapi pasti. Aku membuang semua pertanyaan tentangnya dalam benakku. Termasuk pertanyaan tentang kenapa dia memutuskan untuk meninggalkanku. Aku memutuskan untuk tak perlu tahu akan hal itu. Karena aku yakin, dia tak akan memutuskan sesuatu tanpa pemikiran yang matang.
Tapi, ada sebuah pertanyaan yang tak bisa aku singkirkan. Pertanyaan itu adalah.. Apakah esok masih akan terasa sama seperti kemarin? Ketika semua hal tentangnya begitu terasa sangat membahagiakan. Dan, apakah esok, aku akan kembali ke taman ini?

***
Nina
Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur besar di kamarku. Aku masih merasa bersalah pada Yoga, lelaki yang sangat aku cintai itu. Kenapa aku bisa memperlakukannya setega itu? Setelah selama satu tahun terakhir, dia terus membuat hidupku berwarna dengan cintanya itu. Aku memang terkutuk!
Tapi, aku akan lebih terkutuk lagi, jika aku masih bersikeras untuk terus bersamanya. Itu semua karena aku mencintainya. Percayalah.

Aku mendudukkan tubuhku di atas tempat tidur. Kemudian, kupeluk erat-erat boneka beruang kesayanganku. Boneka beruang berwarna merah muda yang dia berikan ketika Hari Valentine. Rasa sakit yang sedang dirasakan hatiku, ternyata lebih menyakitkan dibanding semua rasa sakit yang pernah menghinggapi tubuh lemahku ini. Benar-benar sakit.
Tapi, aku sudah memikirkannya masak-masak sebelum mengambil keputusan ini. Rasa sakit di hatiku ini, mungkin adalah balasan yang setimpal atas perbuatanku.
“Apakah esok masih akan terasa hangat, ketika aku harus menjalani hidup tanpamu?”
Aku mengejek pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Dan dengan frustasi, aku kembali menghempaskan tubuhku. Lalu, kulirik sepucuk surat yang berada di atas meja, yang amplopnya tertulis, “Rumah Sakit Cipta Medina”
Lalu, air mataku kembali mengalir deras.