Rasanya seperti bau rumah sakit.
Begitu yang
ada di dalam kepalaku ketika harus terjebak di dalam kerumunan dan menunggu
seseorang. Aku bukan tipe orang penyabar, dan tentu saja bukan orang yang suka
berada di tengah keramaian. Tapi, karena satu hal, aku harus berada di sini,
menunggu teman sekelasku, Juni.
Juni, nama
yang terasa seperti pemalas. Aku belum mengetahui biodatanya, tapi aku berani
bertaruh kalau dia lahir di bulan Juni. Makanya, tadi kubilang dia seperti
pemalas, karena orang tuanya terasa malas mencari nama lain. Atau mungkin,
mereka merasa bahwa nama Juni akan mengingatkan mereka pada momen itu. Nah,
kan? Apa kubilang. Mereka pemalas.
*
Juni
tiba-tiba muncul dan menyapaku dari jauh. Aku menggoreskan senyum di wajah,
walau terasa kaku. Dia menghampiriku dengan tergesa, kemudian meminta maaf
karena terlambat. Kubilang, aku tidak apa-apa. Kami kemudian pergi ke sebuah
kafe, membicarakan tugas kuliah. Sesekali dia juga membicarakan teman sekelas
lain, yang jujur saja tak kuingat wajahnya. Lalu kami pergi ke sebuah toko kaset.
Jika bukan sama-sama perempuan, mungkin ini akan menjadi kencan yang sempurna. Begitu
pikirku.
Kami berpisah
di stasiun, setelah sebelumnya lebih dulu memakan es krim di bangku stasiun. Di
sepanjang perjalanan pulang, tiba-tiba saja aku merasa bersyukur. Di dunia ini,
masih ada orang yang bisa hidup dengan ceria dan bahagia seperti Juni.