Kita pernah berharap untuk pergi ke
luar angkasa bersama-sama. Kamu ingin pindah ke Planet Mars, karena menurutmu
sepi dan menenangkan. Sementara aku, aku hanya ingin pergi dari Bumi. Kita
membicarakan ide itu dan mempersiapkannya dengan matang. Aku menyiapkan blueprint pesawat luar angkasa,
sementara kamu menghitung formula-formula. Menurutku, kita adalah tim yang
kompak. Rekan yang sempurna. Meski kadang berdebat hebat, kita masih memandang
ke arah yang sama. Luar angkasa. Itu yang membuat kita terikat dan tak bisa
begitu saja saling melepaskan.
Suatu hari, kamu menghilang. Kukira,
kamu hanya butuh ruang untuk menyelesaikan rumus dan angka-angka dalam membuat
formula untuk bahan bakar pesawat ruang angkasa yang kita rancang bersama. Tapi,
aku salah. Ketika kamu datang kembali, kamu hanya bilang, “Aku rasa, aku sudah
menemukan alasan untuk tetap tinggal di Bumi. Aku harap kamu juga menemukan
alasan itu.” Kemudian kamu pergi dan menghilang.
***
Hari ini, setahun setelah kamu
menghilang, aku masih belum bisa menemukan alasan untuk tetap berada di Bumi. Aku
masih ingin mengitari galaksi dan melayang dalam luar angkasa tanpa batas. Aku
ingin menemukan Tanah Eden.
***
Hujan turun pada hari-hari
terakhir Bulan Sepember. Menghapus debu, menghalau terik, melenyapkan sisa-sisa
aku dan kamu.
Kupikir, aku sudah benar-benar mampu
melupakanmu. Sampai suatu malam jelang Oktober, kamu tiba-tiba hadir dalam
mimpiku.