Mengawali tahun baru dengan perasaan
mengganjal dan menganggap dirinya tak punya masa depan, Kei, mencoba untuk
terus melangkah. Berjalan tanpa ada tujuan ternyata sangat berat baginya. Dulu,
dia selalu bersemangat untuk menaklukkan dunia. Dulu, dia meremehkan banyak
hal, kemudian sesumbar akan banyak hal. Waktu berlalu, dia kehilangan jati
dirinya. Kei ditarik jatuh oleh gravitasi, dan memaksanya kembali dari dunia
mimpi. Kembali pada dunia yang selalu dia benci.
Kei terus berjuang, tapi dia hanya
menghadapi jalan buntu. Dia masih tak punya tujuan, dan itu membuat langkahnya
sulit untuk menentukan pilihan. Dia berusaha mencari bantuan, tapi, dia sudah
lama terbiasa untuk menutup hati dari orang lain. Dia ingin diselamatkan, tapi
dia tidak membiarkan siapa pun untuk mendekatinya. Kei yang malang.
Kei selalu berkata pada dirinya, “I’m
okay.” Dan membuat dinding tanpa dia sadari. Di mata orang lain, Kei adalah
pribadi menyenangkan, sangat suka tertawa, sangat suka menghibur, dan sangat
bisa diandalkan. Tapi, mereka sebenarnya sama sekali tidak mengenal Kei. Kei yang
asli hanya menikmati kesendiriannya. Hanya sendiri.
***
Suatu hari, di malam yang lembab khas
perkotaan, Kei berjalan seorang diri sambil terus memacu otaknya bekerja. Dunia
begini, dunia begitu, harus begini, harus begitu, semuanya berjibaku dalam
kepala kecil Kei. Beberapa saat kemudian, suara klakson dan cahaya mobil dari
depan, membuyarkan konsentrasinya. Dia memandang sorot lampu itu tanpa
mengedipkan matanya. Saat itu juga, semua hal yang ada di kepala Kei keluar
dengan cepat. Yang ada di kepalanya saat itu hanya satu pertanyaan, “Kalau sekarang aku melompat ke mobil itu,
apa semua ini akan berakhir?”
Mobil itu semakin dekat, kemudian
lewat begitu saja di sampingnya. Kei masih berdiri dan membatu. Dia menelan
ludah, kemudian kejadian langka itu terjadi. Kei menangis. Hal yang sudah
sangat lama tak pernah dia lakukan.
***
Setelah malam itu, Kei mengurung diri
selama berhari-hari di kamarnya. Terjebak dalam pemikiran sempitnya, dia
melihat dunia maya dan semakin membuatnya depresi.
Dia selalu ingin lari dari kenyataan.
Kenyataan yang sudah tidak bisa dia hadapi lagi sendirian. Saat itu, dia
kembali berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Tapi, dia kembali mengurungkan
niatnya. Agama melarangnya. Agama? Tidak.
Aku hanya seorang pengecut yang bahkan tidak sanggup untuk mengakhiri hidup.
Begitu batinnya.
Kei merebahkan tubuhnya yang penat. Kepalanya
yang sudah berhari-hari dia paksa bekerja, berhasil dia kendalikan. Kei
memejamkan matanya, kemudian dia terlelap dalam kesendiriannya.
***
Di sebuah pagi yang gaduh, gempa
membuat beberapa bangunan runtuh dan hancur. Di dalam timbunan sebuah bangunan,
seorang pemuda dengan kantung mata tebal sedang tersenyum menyambut uluran
tangan dewa kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar