Yang gue inget, Jakarta
Utara hari itu benar-benar terik. Belum lagi gue salah stasiun dan berjarak
satu stasiun lagi sebelum Ancol. Di tengah terik dan keringat mengucur entah
karena udara panas atau karena gugup, sebuah pesan masuk.
“Kamu udah sampai mana?
Aku udah sampai Stasiun Ancol.”
Gue langsung menggaruk
kepala sambil sedikit panik, lalu tanpa berpikir panjang mengetik, “Sorry, aku
telat ya, aku tadi salah turun stasiun.” Yang langsung dia balas “Iya, santai
aja. Ternyata Ancol sepanas itu ya, baru tahu.”
Gue gak tahu itu sindiran
atau memang ungkapan hatinya. Gue waktu itu sudah tidak bisa berpikir jernih,
karena rasa bersalah sudah telat. Setelah menunggu kurang lebih 15 menit,
kereta datang. Gue langsung masuk kereta sambil mengusap-usap keringat,
berharap dia tidak marah.
Itu adalah pertemuan
pertama kami setelah beberapa tahun. Dia kuliah di Malaysia dan selama itu kami
tidak pernah bertemu, hanya sesekali telepon, chat via facebook, twitter, atau
video call. Tapi jangan kira video call waktu itu kualitasnya bagus, karena
kecepatan internet sungguh tidak memadai. Kadang-kadang, gue sama dia Cuma
lihat-lihatan gambar kotak-kotak kayak sensor bokep dan entah kenapa kami tetap
ketawa-ketawa aja dan merasa tidak terganggu dengan itu. Atau mungkin
sebenarnya terganggu, tapi mau tak mau harus melakukannya. Kadang, keterbatasan
yang membuat kita harus bersukur, atau mungkin mencoba berdamai sama keadaan
aja.
Jadi, sekedar meluruskan.
Dia bukan pacar gue, dan kami tidak LDR. Terus,
hubungan kami apa? Oh, well, it’s
complicated. Setidaknya complicated buat gue.
Namanya adalah Cindy,
setelah gue sadari, ternyata dia adalah cinta pertama gue. Kami dipertemukan
oleh sebuah komunitas One Piece yang waktu itu kami ikuti. Waktu itu, jatuh
cinta secara online adalah hal yang tabu dan tidak lumrah. Tapi, Cindy berhasil
bikin gue jatuh hati waktu itu. Berinteraksi sama dia benar-benar seru dan
mengasyikan. Awalnya, gue pikir kami gak akan bisa sedekat itu, tapi, ternyata
kami bisa dekat, bahkan sampai bertukar pesan dan bertukar kontak. Setelah
berbagai obrolan, gue akhirnya tahu dia punya pacar dan gue langsung patah
hati. Tapi, komunikasi kami terus berlanjut. Kami masih sering bertukar pesan,
masih main game bareng, dan kadang-kadang dia curhat juga soal pacarnya.
Beberapa waktu kemudian, gue deket sama cewek lain dan akhirnya jadian.
Beberapa hari setelah gue jadian, dia putus. Semesta emang suka banget guyon.
Kondisi itu berlangsung
berkali-kali. Tiap gue punya pacar, dia nggak. Tiap gue gak punya pacar, dia not avaible.
Pernah satu waktu dia
yang waktu itu udah kuliah di Malaysia, tiba-tiba minta video call pake Skype.
Gue yang waktu itu lagi nongkrong sama teman-teman kampus langsung pamit otw
pulang. Gue sama dia ngobrol panjang lebar dengan internet Indonesia era
menteri “Internet cepat buat apa?” itu yang sungguh bikin emosi sampai malam.
Ketika berakhir, gue yang sangat berbunga-bunga langsung buka twitter buat
nge-tweet “Senangnya hari ini.”
Tapi, pas baru buka
twitter, twit pertama yang muncul di timeline gue ada twit dia yang mention
pacarnya dan bilang, “Udah tidur ya? Jangan marah lagi yaa.”
Yang gue inget, waktu itu
ada suara retak dan pecah yang terdengar di dalam kepala. Tapi, entah kenapa,
hati gue yang terasa ngilu.
*
Kini, sudah hampir 3
tahun setelah kejadian itu. Setahu gue, dia udah putus dari pacarnya itu. Dia
bilang dia udah capek sama hubungan yang menurut dia toxic, walau tak
menjelaskan pada gue dengan detail. Gue pun mengalami hal serupa, dengan cerita
dari beberapa wanita yang berakhir tragis, gue memutuskan untuk sendiri dulu.
Gue bahkan gak tahu kenapa gue sangat antusias sekali hari ini. Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Gue
mencoba menerka-nerka isi hatinya. Sama seperti kenapa tiba-tiba dia mengirimkan
pesan berbunyi, “Besok mau nemenin aku ke Ancol nggak?”
*
Kereta perlahan berhenti,
gue langsung bergegas keluar dan menunggu kereta lewat untuk menyebrang.
Setelah kereta kembali jalan dan lewat, di peron seberang, gue melihat gadis
berambut panjang yang yang sedang duduk sambil memainkan handphone-nya. Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB dan tiba-tiba saja
ada angin yang berhembus, menerbangkan rambutnya sampai berantakan. Dia
langsung menyisir rambutnya dengan jarinya, dan di tengah kesibukan itu, dia
melihat gue datang, lalu tersenyum.
Waktu seolah berhenti
berputar. Kayak di drama-drama, terik tiba-tiba berubah menjadi angin
sepoi-sepoi, musik terputar di dalam kepala, dan senyumnya menghilangkan rasa
gugup gue. Dia adalah wanita yang ada di kepala gue selama beberapa tahun
terakhir, tanpa mampu memulai apa pun. Dia yang datang dan pergi semau dia
setelah satu malam penghiburan, dan membuat gue bertanya-tanya, apakah ada gue
di tempat spesial dalam hatinya? Atau, pernahkah dia memikirkan dan merindukan
gue walau cuma satu detik?
“Huu, telat!” Serunya. Waktu
kembali berjalan, dan gue Cuma bisa cengengesan sambil mengucap maaf
berkali-kali.
“Makan yuk!” Ujarnya
tiba-tiba, yang langsung gue iyakan. Kami langsung masuk ke Ancol dan mencari
tempat makan.
“Kamu gak makan nasi?”
Tanya gue setelah melihat menu yang dia pesan.
“Nggak, diet dong! Hehe.”
“Hah? Ngapain? Perasaan
masih kurus deh.”
“Heh, gak boleh gitu tau.
Aku kemaren sempet naik hampir 5 kilo, terus sama mamah disuruh jaga makan,
makanya gak makan nasi sekarang.”
“Kamu mau ikut pemilihan
putri kecantikan lagi?”
“Nggak dong! Tapi kan aku
sekarang pembina, masa iya udah ngoceh-ngoceh ini itu tapi gak jaga
penampilan.” Gue Cuma bisa cekikikan mendengar penjelasannya.
“Jangan ketawa!”
“Sorry, sorry. Ya lagian
aneh, badan udah bengini masih aja diet.”
“Ih! Kamu mah dari dulu
badannya begini mulu, makanya kamu gak akan relate sama penderitaanku!”
“Alah, lebay!”
Kami berdua cekikikan,
seolah tak ada pengunjung lain. Hanya ada kami berdua.
“Kita mau naik wahana apa
aja?” Tanya gue tiba-tiba.
“Hmm” dia terlihat
berpikir, kemudian menjawab “Naik itu dulu yuk!” sambil menunjuk sebuah wahana
perahu air.
“Serius?” Tanya gue lagi,
matanya berbinar sambil mengangguk.
“Kalo basah, aku gak
tanggung jawab ya.” Kata gue.
“Aman, bos!”
Kami akhirnya menaiki
wahana itu, kemudian wahana-wahana lainnya. Di tengah kebersamaan itu, canda
tawa di siang menuju sore itu, tiba-tiba saja gue berkata dalam hati, gue gak akan meminta lebih. Entah,
tiba-tiba itu terlintas di dalam kepala gue. Waktu itu, gue baru saja patah
hati, hebat sekali. Gue takut dia cuma jadi pelampiasan euforia gue yang
tiba-tiba saja kembali berbunga. Sampai tiba-tiba, di jalan menuju bianglala,
tangan gue meraih tangannya, kemudian kami bergandengan tangan. Dengan sedikit
terkaget, dia melihat ke arah gue kemudian bertanya, “Ini apa?” waduh, mampus!
Gue panik, nyari alasan, tapi kepala gue mandeg. Bangsat.
Dengan rasa bersalah gue
mencoba melepaskan genggaman tangan, tapi, kemudian dia tersenyum dan masih
menggenggam tangan gue, kemudian dia mendekatkan tubuhnya, lalu berbisik, “Abis
naik bianglala, kita ke pantai ya?” yang hanya gue jawab dengan anggukan
kepala.
Anehnya, setelah itu kami
terus bergandengan tangan, atau dia merangkul lengan gue. Di bianglala, pada
sore menjelang maghrib, kami memandang ke arah laut dan gemerlapnya lampu kota
yang mulai terlihat seperti bintang. Gue melihat ke arahnya, dia masih
menikmati pemandangan yang terhampar di matanya. Tangannya masih merangkul
tangan gue, seperti tidak mau lepas.
Di kepala gue pikiran
berkecamuk, apa cinta dalam diam ini akan
berakhir hari ini?
Dia adalah wanita yang
selalu gue mimpikan beberapa tahun terakhir. Meski tak selalu, karena gue juga
menjalani cinta yang lain. Lalu gue teringat hubungan terakhir gue yang
berakhir sangat tidak mengenakkan. Gue tiba-tiba mengurungkan niat. Meskipun
detik itu gue ingin berucap “Aku cinta kamu.” Tapi kalimat itu gue ganti
dengan, “Suatu hari nanti, kita dateng ke sini lagi ya?” dia menatap gue pekat,
lalu mengangguk. “Janji?” Tanya dia, yang langsung gue jawab, “Janji.”
*
Selepas dari bianglala,
kami berkeliling sebentar, kemudian menuju pantai. Di sana, kami membicarakan
banyak hal, soal pekerjaan, soal kuliah, dan soal kucing yang sedang asik
berjalan-jalan dia pantai Ancol tanpa takut dengan air laut.
Sejujurnya gue lupa kami
membicarakan apa saja. Yang gue inget hanya ekspresi mukanya yang lucu. Gue mau
hari itu tak akan berakhir dan berlangsung lebih lama, tapi, ternyata tak bisa.
Pukul 20.00 kami pulang
menuju stasiun. Kereta kami beda jurusan, dan kami harus berpisah di sini. Saat
keretanya diumumpun akan datang, dia hanya berkata lirih, “Keretaku mau dateng”
yang gue jawab hanya dengan sebuah anggukan. Kami saling menaptap, dia menghela
napas, lalu tersenyum.
“Bye!” dia melambaikan
tangan, sembari berdiri menuju kereta yang segera datang.
“Bye” gue membalas
lambaian tangan itu.
Dia lalu memasuki kereta,
dan setelah kereta itu berangkat, gue baru sadar jika hari itu sudah berakhir.
*
Gue baru pulang kerja dan
masih kelelahan setelah menghadapi macet ketika tiba-tiba teringat dengan
cerita ini. Gue reflek membuka instagram dan sekarang, dia sudah menikah dan
mempunyai dua anak. Gue seolah baru saja memasuki mesin waktu dan terlempar terlalu
jauh. Cerita ini ternyata sudah berusia tujuh tahun lebih. Hidup berjalan
terlalu cepat.
Gue masih ingat perasaan
berbunga-bunga setelah hari di Ancol itu dengan jelas. Atau perasaan sakit yang
gue rasakan ketika dia tiba-tiba memposting foto pernikahannya yang membuat gue
menangis dua hari dua malam.
Berandai-andai, apa
jadinya jika hari itu gue bilang “Aku cinta kamu.” Apakah ceritanya akan
berbeda?
Atau mungkin sama, tapi,
setidaknya kami tahu perasaan masing-masing.
Tapi, ini hanya sebuah
perandaian. Gue bahagia melihat dia bahagia sekarang dengan keluarga kecilnya.
Yang gue tahu sekarang,
ternyata, cinta dalam diam suaranya lebih lantang dan menyakitkan daripada
cinta-cinta yang lain.