Rabu, 01 Januari 2025

Referendum

 

Kalau harus menggambarkan 2024, bagi gue itu adalah ajang untuk memulai dan mengakhiri. Tahun ini gue memulai untuk bekerja kantoran, yang dalam berbagai kesempatan, selalu gue tolak berkali-kali di masa lalu. Tidak sudi untuk meninggalkan kehidupan seniman yang penuh dengan injeksi visioner, dan ide-ide yang sebenarnya tidak mengisi perut. Tapi, apalah kondisi perut, yang penting jiwa terisi. Itu yang ada di kepala kecil gue waktu itu. Sampai akhirnya, gue harus dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang penuh kepedihan. Juga, benturan, bahwasanya, perut perlu diisi, dan hidup harusnya tidak di situ-situ saja. Makanya, gue memutuskan untuk mencoba hal baru, yaitu bekerja kantoran.

Tapi, setelah mulai bekerja, rutinitas ternyata tidak semenyeramkan itu. Kita masih punya Sabtu-Minggu dan tanggal merah untuk bergelut dengan diri sendiri, termasuk dengan gagasan-gagasan yang selalu ada di dalam kepala. Atas dasar itulah gue memberanikan diri untuk memulai project music, dan menulis beberapa lagu. Kapan gue rilis? Semoga Tahun 2025 mengizinkannya.

Tahun ini juga masih konsisten seperti tahun-tahun sebelumnya sejak 2020, mendapatkan kabar buruk, dan kehilangan seseorang. Sejujurnya gue belum cukup mental untuk membicarakan ini, lukanya masih hangat. Just one thing I wanna say, I love you, Mbah.

Gue gak tahu tahun ini akan membawa gue ke mana, mungkin akan pergi ke kota lain untuk menelusuri dungeon baru, atau mungkin masih tetap di kota yang sama untuk mengerjakan hal-hal baru atau bahkan hal yang sama berulang. Apa pun itu, gue akan mempersiapkan diri. Gue gak punya keberanian buat bilang siap, karena tahun lalu gue berkali-kali sudah dihajar sama kesombongan sendiri, dan babak belur dibuatnya.

Satu hal yang pasti, I will stay mocking society, hail the republic, support Arsenal, podcasting maybe, writing poems, palying games, and stay calling myself as seniman busuk. LOL

 

Happy new year’s everyone!

Sabtu, 14 Desember 2024

To You, Seven Years Later

     Yang gue inget, Jakarta Utara hari itu benar-benar terik. Belum lagi gue salah stasiun dan berjarak satu stasiun lagi sebelum Ancol. Di tengah terik dan keringat mengucur entah karena udara panas atau karena gugup, sebuah pesan masuk.

“Kamu udah sampai mana? Aku udah sampai Stasiun Ancol.”

Gue langsung menggaruk kepala sambil sedikit panik, lalu tanpa berpikir panjang mengetik, “Sorry, aku telat ya, aku tadi salah turun stasiun.” Yang langsung dia balas “Iya, santai aja. Ternyata Ancol sepanas itu ya, baru tahu.”

Gue gak tahu itu sindiran atau memang ungkapan hatinya. Gue waktu itu sudah tidak bisa berpikir jernih, karena rasa bersalah sudah telat. Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, kereta datang. Gue langsung masuk kereta sambil mengusap-usap keringat, berharap dia tidak marah.

Itu adalah pertemuan pertama kami setelah beberapa tahun. Dia kuliah di Malaysia dan selama itu kami tidak pernah bertemu, hanya sesekali telepon, chat via facebook, twitter, atau video call. Tapi jangan kira video call waktu itu kualitasnya bagus, karena kecepatan internet sungguh tidak memadai. Kadang-kadang, gue sama dia Cuma lihat-lihatan gambar kotak-kotak kayak sensor bokep dan entah kenapa kami tetap ketawa-ketawa aja dan merasa tidak terganggu dengan itu. Atau mungkin sebenarnya terganggu, tapi mau tak mau harus melakukannya. Kadang, keterbatasan yang membuat kita harus bersukur, atau mungkin mencoba berdamai sama keadaan aja.

Jadi, sekedar meluruskan. Dia bukan pacar gue, dan kami tidak LDR. Terus,  hubungan kami apa? Oh, well, it’s complicated. Setidaknya complicated buat gue.

Namanya adalah Cindy, setelah gue sadari, ternyata dia adalah cinta pertama gue. Kami dipertemukan oleh sebuah komunitas One Piece yang waktu itu kami ikuti. Waktu itu, jatuh cinta secara online adalah hal yang tabu dan tidak lumrah. Tapi, Cindy berhasil bikin gue jatuh hati waktu itu. Berinteraksi sama dia benar-benar seru dan mengasyikan. Awalnya, gue pikir kami gak akan bisa sedekat itu, tapi, ternyata kami bisa dekat, bahkan sampai bertukar pesan dan bertukar kontak. Setelah berbagai obrolan, gue akhirnya tahu dia punya pacar dan gue langsung patah hati. Tapi, komunikasi kami terus berlanjut. Kami masih sering bertukar pesan, masih main game bareng, dan kadang-kadang dia curhat juga soal pacarnya. Beberapa waktu kemudian, gue deket sama cewek lain dan akhirnya jadian. Beberapa hari setelah gue jadian, dia putus. Semesta emang suka banget guyon.

Kondisi itu berlangsung berkali-kali. Tiap gue punya pacar, dia nggak. Tiap gue gak punya pacar, dia not avaible.

Pernah satu waktu dia yang waktu itu udah kuliah di Malaysia, tiba-tiba minta video call pake Skype. Gue yang waktu itu lagi nongkrong sama teman-teman kampus langsung pamit otw pulang. Gue sama dia ngobrol panjang lebar dengan internet Indonesia era menteri “Internet cepat buat apa?” itu yang sungguh bikin emosi sampai malam. Ketika berakhir, gue yang sangat berbunga-bunga langsung buka twitter buat nge-tweet “Senangnya hari ini.”

Tapi, pas baru buka twitter, twit pertama yang muncul di timeline gue ada twit dia yang mention pacarnya dan bilang, “Udah tidur ya? Jangan marah lagi yaa.”

Yang gue inget, waktu itu ada suara retak dan pecah yang terdengar di dalam kepala. Tapi, entah kenapa, hati gue yang terasa ngilu.

*

Kini, sudah hampir 3 tahun setelah kejadian itu. Setahu gue, dia udah putus dari pacarnya itu. Dia bilang dia udah capek sama hubungan yang menurut dia toxic, walau tak menjelaskan pada gue dengan detail. Gue pun mengalami hal serupa, dengan cerita dari beberapa wanita yang berakhir tragis, gue memutuskan untuk sendiri dulu. Gue bahkan gak tahu kenapa gue sangat antusias sekali hari ini.  Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Gue mencoba menerka-nerka isi hatinya. Sama seperti kenapa tiba-tiba dia mengirimkan pesan berbunyi, “Besok mau nemenin aku ke Ancol nggak?”

*

Kereta perlahan berhenti, gue langsung bergegas keluar dan menunggu kereta lewat untuk menyebrang. Setelah kereta kembali jalan dan lewat, di peron seberang, gue melihat gadis berambut panjang yang yang sedang duduk sambil memainkan handphone-nya. Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB dan tiba-tiba saja ada angin yang berhembus, menerbangkan rambutnya sampai berantakan. Dia langsung menyisir rambutnya dengan jarinya, dan di tengah kesibukan itu, dia melihat gue datang, lalu tersenyum.

Waktu seolah berhenti berputar. Kayak di drama-drama, terik tiba-tiba berubah menjadi angin sepoi-sepoi, musik terputar di dalam kepala, dan senyumnya menghilangkan rasa gugup gue. Dia adalah wanita yang ada di kepala gue selama beberapa tahun terakhir, tanpa mampu memulai apa pun. Dia yang datang dan pergi semau dia setelah satu malam penghiburan, dan membuat gue bertanya-tanya, apakah ada gue di tempat spesial dalam hatinya? Atau, pernahkah dia memikirkan dan merindukan gue walau cuma satu detik?

“Huu, telat!” Serunya. Waktu kembali berjalan, dan gue Cuma bisa cengengesan sambil mengucap maaf berkali-kali.

“Makan yuk!” Ujarnya tiba-tiba, yang langsung gue iyakan. Kami langsung masuk ke Ancol dan mencari tempat makan.

“Kamu gak makan nasi?” Tanya gue setelah melihat menu yang dia pesan.

“Nggak, diet dong! Hehe.”

“Hah? Ngapain? Perasaan masih kurus deh.”

“Heh, gak boleh gitu tau. Aku kemaren sempet naik hampir 5 kilo, terus sama mamah disuruh jaga makan, makanya gak makan nasi sekarang.”

“Kamu mau ikut pemilihan putri kecantikan lagi?”

“Nggak dong! Tapi kan aku sekarang pembina, masa iya udah ngoceh-ngoceh ini itu tapi gak jaga penampilan.” Gue Cuma bisa cekikikan mendengar penjelasannya.

“Jangan ketawa!”

“Sorry, sorry. Ya lagian aneh, badan udah bengini masih aja diet.”

“Ih! Kamu mah dari dulu badannya begini mulu, makanya kamu gak akan relate sama penderitaanku!”

“Alah, lebay!”

Kami berdua cekikikan, seolah tak ada pengunjung lain. Hanya ada kami berdua.

“Kita mau naik wahana apa aja?” Tanya gue tiba-tiba.

“Hmm” dia terlihat berpikir, kemudian menjawab “Naik itu dulu yuk!” sambil menunjuk sebuah wahana perahu air.

“Serius?” Tanya gue lagi, matanya berbinar sambil mengangguk.

“Kalo basah, aku gak tanggung jawab ya.” Kata gue.

“Aman, bos!”

 

Kami akhirnya menaiki wahana itu, kemudian wahana-wahana lainnya. Di tengah kebersamaan itu, canda tawa di siang menuju sore itu, tiba-tiba saja gue berkata dalam hati, gue gak akan meminta lebih. Entah, tiba-tiba itu terlintas di dalam kepala gue. Waktu itu, gue baru saja patah hati, hebat sekali. Gue takut dia cuma jadi pelampiasan euforia gue yang tiba-tiba saja kembali berbunga. Sampai tiba-tiba, di jalan menuju bianglala, tangan gue meraih tangannya, kemudian kami bergandengan tangan. Dengan sedikit terkaget, dia melihat ke arah gue kemudian bertanya, “Ini apa?” waduh, mampus! Gue panik, nyari alasan, tapi kepala gue mandeg. Bangsat.

Dengan rasa bersalah gue mencoba melepaskan genggaman tangan, tapi, kemudian dia tersenyum dan masih menggenggam tangan gue, kemudian dia mendekatkan tubuhnya, lalu berbisik, “Abis naik bianglala, kita ke pantai ya?” yang hanya gue jawab dengan anggukan kepala.

Anehnya, setelah itu kami terus bergandengan tangan, atau dia merangkul lengan gue. Di bianglala, pada sore menjelang maghrib, kami memandang ke arah laut dan gemerlapnya lampu kota yang mulai terlihat seperti bintang. Gue melihat ke arahnya, dia masih menikmati pemandangan yang terhampar di matanya. Tangannya masih merangkul tangan gue, seperti tidak mau lepas.

Di kepala gue pikiran berkecamuk, apa cinta dalam diam ini akan berakhir hari ini?

Dia adalah wanita yang selalu gue mimpikan beberapa tahun terakhir. Meski tak selalu, karena gue juga menjalani cinta yang lain. Lalu gue teringat hubungan terakhir gue yang berakhir sangat tidak mengenakkan. Gue tiba-tiba mengurungkan niat. Meskipun detik itu gue ingin berucap “Aku cinta kamu.” Tapi kalimat itu gue ganti dengan, “Suatu hari nanti, kita dateng ke sini lagi ya?” dia menatap gue pekat, lalu mengangguk. “Janji?” Tanya dia, yang langsung gue jawab, “Janji.”

*

Selepas dari bianglala, kami berkeliling sebentar, kemudian menuju pantai. Di sana, kami membicarakan banyak hal, soal pekerjaan, soal kuliah, dan soal kucing yang sedang asik berjalan-jalan dia pantai Ancol tanpa takut dengan air laut.

Sejujurnya gue lupa kami membicarakan apa saja. Yang gue inget hanya ekspresi mukanya yang lucu. Gue mau hari itu tak akan berakhir dan berlangsung lebih lama, tapi, ternyata tak bisa.

Pukul 20.00 kami pulang menuju stasiun. Kereta kami beda jurusan, dan kami harus berpisah di sini. Saat keretanya diumumpun akan datang, dia hanya berkata lirih, “Keretaku mau dateng” yang gue jawab hanya dengan sebuah anggukan. Kami saling menaptap, dia menghela napas, lalu tersenyum.

“Bye!” dia melambaikan tangan, sembari berdiri menuju kereta yang segera datang.

“Bye” gue membalas lambaian tangan itu.

Dia lalu memasuki kereta, dan setelah kereta itu berangkat, gue baru sadar jika hari itu sudah berakhir.

*

Gue baru pulang kerja dan masih kelelahan setelah menghadapi macet ketika tiba-tiba teringat dengan cerita ini. Gue reflek membuka instagram dan sekarang, dia sudah menikah dan mempunyai dua anak. Gue seolah baru saja memasuki mesin waktu dan terlempar terlalu jauh. Cerita ini ternyata sudah berusia tujuh tahun lebih. Hidup berjalan terlalu cepat.

Gue masih ingat perasaan berbunga-bunga setelah hari di Ancol itu dengan jelas. Atau perasaan sakit yang gue rasakan ketika dia tiba-tiba memposting foto pernikahannya yang membuat gue menangis dua hari dua malam.

Berandai-andai, apa jadinya jika hari itu gue bilang “Aku cinta kamu.” Apakah ceritanya akan berbeda?

Atau mungkin sama, tapi, setidaknya kami tahu perasaan masing-masing.

Tapi, ini hanya sebuah perandaian. Gue bahagia melihat dia bahagia sekarang dengan keluarga kecilnya.

Yang gue tahu sekarang, ternyata, cinta dalam diam suaranya lebih lantang dan menyakitkan daripada cinta-cinta yang lain.

 

Selasa, 07 Mei 2024

To a Girl That I Saw That Day

 

Yang dia takutkan dari jatuh cinta adalah mengulang tragedi yang sama. Laut mengering, dunia berwarna abu-abu, dan udara menelan uluh hati. Seperti mantra-mantra maut yang dirapal penuh dengan kutukan. Baginya, jatuh cinta adalah anekdot. Sebuah selingan yang tak akan pernah menjadi sebuah masterpiece yang berumur ratusan tahun. Meski dia mengharapkan itu. Tak perlu ratusan tahun, cukup 30 tahun saja, begitu pikirnya.

*

Dia memandang jauh pada seorang gadis yang sedang bermain di tepi pantai. Gadis itu terlihat begitu ceria, kepalanya menghadap ke langit, memandangi sebuah kelereng yang baru saja ditemukannya. Hari itu begitu terik, dunia yang gadis itu tempati begitu berkilau. Dia tak jadi menyapanya. Dia tidak ingin membuat suram dunia gadis itu, kemudian dia bersenandung.

Lalu menghilang dalam gelapnya hutan.

*

Melodi penuh warna itu kembali

Memenuhi kepala, lalu membentuk wajahnya dengan sempurna

Aku ingin kembali bertemu dengannya

Aku ingin berinteraksi dengannya

Aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersamanya

Menghapus sepi

Mengurai kesendirian

Lalu menikmati matahari terbit bersama-sama

Sabtu, 13 Maret 2021

Manekin

 

Dia masih terpaku melihat ke arah cermin. Ada kesedihan yang menyihir di sana. Tertawa dalam manik-manik sepi yang menelantarkan dinding kamar. Juga pada percikan air yang turun deras menghujani wajahnya.

Dia masih belum bisa mengatasinya, suara-suara di dalam kepala yang bernyanyi bersahutan menerjang tak karuan. Kemudian, waktu terasa melambat, dalam perihnya lintasan hidup yang tergores luka.

Sendiri, menelannya lagi. Arah, tak lagi mencarinya. Kini, dia mengunci harapan rapat-rapat.

Dalam seringai yang bertaut dengan doa, dia bertanya, “Untuk apa aku terlahir?”