"Hey,
kenapa kita terlahir?"
Kamu
bertanya dengan pelan sambil memainkan rambutku yang ikal. Rasanya, sudah lama
sekali kita tidak berbicara seperti ini. Kamu yang selalu sibuk dengan
pekerjaan, membuat komunikasi kita jadi berjarak. Aku tidak menyalahkanmu,
hanya saja, aku kadang merasa rindu. Tapi, aku selalu enggan mengatakannya.
"Entahlah."
Jawabku datar.
Kamu
paling tahu. Aku sama sekali tidak mengerti apa itu hidup. Aku heran kenapa kamu
menanyakan pertanyaan itu padaku. Kamu lalu tersenyum tipis, kemudian mengusap
dahiku.
Sudah
satu jam lebih kita hanya berbaring di atas tempat tidur. Terkadang kita
sama-sama menatap langit-langit, lalu kita mengubah posisi untuk saling
memandang. Terkadang, kita saling memunggungi. Aku sama sekali tidak tahu cara
untuk memulai percakapan. Maaf.
"Aku
ingin melihat pelagi." Katamu tiba-tiba.
"Eh,
kenapa?"
"Entahlah.
Hanya saja, melihat pelangi selalu terdengar menyenangkan."
"Mungkin."
Kamu
memandang heran. Sorot mata yang seolah bertanya "Kenapa?"
"Apa
kamu tahu, di kota yang jauh, mungkin pelanginya berwarna hitam putih."
Kataku.
"Hmm?"
Kamu terlihat tidak setuju.
"Mungkin,
saat ini, di kota yang jauh itu seseorang sedang sekarat. Atau bahkan ada yang
mati. Jika memikirkannya, perasaanku jadi tidak enak." Ucapku pelan.
"Tapi,
di kota yang jauh itu, seorang bayi sedang terlahir. Ada kehidupan baru lagi.
Kamu tak usah khawatir." Balasmu.
Aku
selalu suka rasa optimismu. Kamu bisa melihat sesuatu dengan cerah. Juga, selalu
bisa tersenyum penuh warna meskipun cuaca sedang badai. Benar-benar seperti
pelangi. Tidak seperti aku yang selalu melihat sesuatu dengan pesimis dan hanya
mengenal 2 warna. Mungkin, aku perlu belajar optimisme darimu. Mungkin, aku
harus mulai belajar mengenali warna lain selain hitam dan putih. Mungkin, aku
harus mengecup bibirmu sekarang juga. Mungkin.
Andai
saja aku punya keberanian.
***
Langit
hari ini begitu mendung, tapi hujan tak kunjung datang. Badanku mulai
menggigil. Setiap sendi dalam tubuh dan tulangku terasa sakit. Rokok dan kopi
sama sekali tidak bisa menghangatkannya. Tiba-tiba saja, aku mulai merasa putus
asa. Kulihat lagi pesan darimu yang berkata "Tunggu aku pulang jam 9 malam
ya!" yang membuat dadaku sesak. Aku mungkin lupa, tapi dadaku tak pernah
merasa sesesak ini sebelumnya.
Aku
melihat jam tangan. Waktu hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Aku beranjak dari
bangku taman yang kududuki. "Aku perlu membeli bunga," begitu
batinku.
***
Hujan
belum juga mengguyur. Entah kenapa hari ini aku sangat menginginkan hujan.
Seandainya saja aku punya sebuah kekuatan untuk mendatangkan hujan. Seandainya saja
aku bisa memunculkan pelangi hari ini. Seandainya saja semua ini tidak terjadi
padamu. Seandainya saja kamu masih hidup dan bisa menghiburku saat ini.
Yui.
apa aku terlalu banyak berandai dan berharap? Yui, aku aku harus bagaimana
sekarang? Tanpamu, aku bisa apa?
***
Aku
membakar dupa lalu sembahyang tanpa menatap peti atau foto monokrom itu. Tak
apa, Yui pasti mengerti. Dia selalu mengerti betapa pengecutnya diriku. Yui
harusnya memaafkanku.
***
Malam
itu, aku memasak omelette kesukaaan
Yui. Kami sudah tak bertemu hampir 2 minggu karena kesibukannya. Menjelang jam
9 malam, aku mulai becermin. Apa aku banyak berubah? Apa aku perlu mencukur
kumisku yang mulai bermunculan? Tapi, bagaimana kalau Yui malah suka?
Pertanyaan-pertanyaan
konyol terus bermunculan memenuhi kepalaku. Sampai akhirnya aku mendapatkan
telepon itu. Telepon yang menghancurkan diriku dan duniaku.
***
Langit
belum juga hujan. Aku jadi ragu, mendung ini berasal dari langit atau hanya
khayalanku saja? Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk berpikir. Dan ketika
kepalaku terasa kosong, hujan turun deras membasahi pipiku. Dalam pandangan
mengabur dalam hujan itu, aku melihat sebuah lengkungan di langit. Mungkin itu
yang dinamakan pelangi. Warnanya hitam putih sama seperti yang aku katakan pada
Yui. Warnanya hilang seperti senyuman Yui yang tak berwarna dalam bingkai foto.
Dalam
perjalanan pulang usai upacara pemakaman, pertanyaan itu tiba-tiba muncul lagi di
kepala.
"Kenapa
kita terlahir?"
Aku
belum menemukan jawabannya.