Hari ini, sehabis maghrib, gue menuju
rumah Michi dengan malas. Mungkin kalo bukan karena suntuk dan pengin refreshing
karena akhir-akhir ini gue cuma berkutat dengan naskah, gue bakal silent hape
gue dan pura-pura tidur seperti biasa. Iya, gue sekampret itu.
Meski baru sekitar 7 bulan ini sering
nongkrong bareng, Michi termasuk teman lama gue. Dulu kita pertama ketemu di
sebuah game online, sekitar tahun 2012. Karena ngerasa seru pas main bareng,
kita saling add akun facebook. Tapi sekitar awal 2013, gue pensiun dari dunia
game karena fokus nulis. Dia masih main game dan sering seliweran di timeline
bahas anime atau game yang dia mainkan. Tapi beberapa waktu belakangan, dia
ngilang dari facebook, dan ternyata dia tutup akun facebook-nya. Gue gak pernah
nanya alesannya kenapa. Gue gak pernah nanya. Gue selalu menghormati privasi
orang lain. Selalu begitu.
Sekitar pertengahan desember, kami
kembali dipertemukan di sebuah forum game mobile. Setelah basa-basi panjang,
gue baru tau ternyata rumahnya deket banget dari kosan gue. Deket banget. Dari situlah
kita sering nongkrong bareng.
Kami jalan di sebuah mall dekat
rumahnya, kemudian nongkrong di sebuah tempat duduk. Gue sibuk corat-coret
buku, mengutak-atik alur komik yang lagi gue kerjain. Dia makan crepes dengan
khidmat. Kemudian, dia tiba-tiba bilang, “Gue dapet beasiswa lho.”
Gue berhenti corat-coret,
memandangnya, kemudian bilang, “Wih, selamat yaa~” dia cuma cekikikan.
Penasaran kenapa dia cekikikan, gue
nanya “Kenapa?”
“Lo kalo lagi serius emang nyebelin
ya!” Katanya.
“Lha, kayak gak tau gue aja.” Gue kembali
melihat coretan gue.
“Bulan depan, gue ke Australia.”
Gue menutup buku tersebut. Kemudian menatapnya
lekat.
“Hah? Serius?” tanya gue lagi yang
hanya dia jawab dengan sebuah anggukan.
“Kok mendadak?”
“Udah dari bulan april. Cuma gue gak
bilang aja. Hehe.” Jawabnya enteng.
Mendadak, dada gue sesak. Badan gue
lemas mendengarnya. Gue gak tau artinya apa, tapi, gue tiba-tiba merasa
kehilangan.
“Gue bakal baik-baik aja kok di sana.
Tenang aja.” Katanya. Gue tau itu cuma buat menghibur gue.
“Mana percaya gue sama perkataan orang
yang minggu lalu ngeringkuk di rumah sakit gara-gara gejala tipus.” Cibir gue.
“Dih, elo mah gitu.”
Selanjutnya kami cuma ngobrol ngalor
ngidul. Mengabaikan perasaan sesak di dada, gue mencoba terus menenangkan diri.
Pasca kejadian bulan agustus dan bulan oktober yang membuat gue depresi hebat, Michi
adalah salah satu orang yang sedikit demi sedikit berhasil membangun gue yang
biasa. Seorang lagi telah pergi. Sekarang, dia juga mau pergi. Perasaan pesimis
gue kembali muncul. Apa gue bisa jadi orang
yang biasa lagi? Begitu pertanyaan yang ada di dalam benak gue. Tapi, melihat
dia yang sangat antusias menceritakan tentang beasiswanya, gue cuma bisa senyum
dan mendoakan yang terbaik buat dia.
“Lo cepetan nyari cewek yang bisa
ngurus lo deh,” ujarnya tiba-tiba.
“Reon?” tanggap gue becanda.
“Gue serius!” bentaknya sambil
mengibas rambut gue.
“Yaelah. Gampang itu mah.” Gue kembali
tertawa.
“Gue kenal lo ya. Alesan lo gak galau
dia pergi itu karena ada gue di sini. Ya kan?”
“Wah, ternyata kita seromantis itu
ya.”
“Gue juga ngerasain hal yang sama,
Furqon. Alesan gue gak terlalu galau karena putus juga karena ada lo.”
“Apaan! Lo nangis di bahu gue sampe 2
jam ya!” sangkal gue.
“Itu kan pas masih anget! Abis itu
mana ada gue galau lagi. Hih!” gue cuma cengar-cengir.
Gue inget waktu dia putus dulu. Dia tiba-tiba
nelpon dengan suara serak, nyuruh gue ke rumahnya. Di rumahnya, nyokapnya
langsung nyuruh gue masuk ke kamarnya. Belom nanya kenapa, dia meremas erat
tangan kurus gue, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu gue. selanjutnya, dia
hanya menangis hebat selama hampir 2 jam. Gak ada penjelasan kenapa dia nangis
waktu itu, gue juga gak nanya. Gue hanya mengusap kepalanya, kemudian bilang “Semua
bakal baik-baik aja.”
***
Gue pulang dengan perasaan bimbang. Di
perjalan pulang dari mall tadi, kami tak mengucapkan sepatah kata pun. Di rumahnya
pun gue cuma pamit sama nyokapnya, kemudian langsung beranjak pergi. Sampai kos,
gue langsung tidur, mencoba buat gak kepikiran. Tapi ternyata gagal. Tulisan ini
bukti gue gak baik-baik aja. Bukti gue takut kembali kehilangan orang yang
sangat berharga di dalam hidup gue. Gue udah capek merasakan fase datang dan
pergi. Walau gue tau, hubungan kami sebagai sahabat gak akan putus meski dia
pergi jauh. Waktu gue bilang pengin ke Jepang, dia sangat antusias dengan niat
gue tanpa meremehkannya sedikitpun. Kali ini gue juga harusnya mendukung dia
tanpa keraguan. Mendoakan dan menyemangatinya untuk meraih impiannya.
Lalu, ditemani lagu The Wall dari For
Revenge, gue kembali meyakinkan diri,
“Semua bakal baik-baik aja.”