Senja
bergeser menjadi malam. Yoga masih terduduk lesu di sebuah bangku taman ber-cat
putih di samping lampu taman yang bersinar remang.
“Kayaknya,
kita, cukup sampai disini aja.”
Kalimat
itu terlontar dari mulut mungil wanita yang sangat amat Yoga sayangi. Kalimat
yang tak pernah terpikir di kepalanya, meski itu hanya pengandaian saja.
Alasannya sudah jelas. Karena mereka saling mencintai. Dan sebelumnya tak ada
masalah sedikitpun diantara mereka.
Dan
kini, dengan tiba-tiba dan begitu sepihak. Dia memutuskan tali cinta yang sudah
terjalin selama satu tahun itu. Wanita itu tak memberi kesempatan Yoga untuk
mempertahankannya. Dia tak memberikannya.
“Paling gak, izinin gue
buat mencegah kamu pergi, Nina. Kenapa kamu bisa setega ini?” rontanya
dalam hati.
***
Nina.
Aku
meninggalkannya dengan keji, tanpa memberinya kesempatan untuk meyakinkanku.
Aku tahu, dia tak akan memaksaku untuk memberikan sebuah penjelasan. Dia pria
yang baik. Terlalu baik malah. Dia langsung duduk dengan lemas di bangku itu. Dia
meremas-remas rambut pendeknya dengan kuat. Aku tak tega melihatnya seperti
itu. Membiarkan rasa frustasinya meledak-ledak seperti itu. Membiarkan depresi
menggerogotinya tubuhnya. Tapi, aku tak lagi bisa mencintaimu. Maafkan aku,
sayang.
Aku
beranjak. Meninggalkan kekasihku itu dengan semua kebingungan yang sedang
merasukinya. Maaf, tapi aku harus segera beranjak dari hadapannya, sebelum air
mataku terjatuh. Sekali lagi, maafkan aku..
***
Yoga
Aku
mengangkat kepala, kemudian melihat ke langit yang gelap. Hanya sedikit bintang
yang aku lihat saat ini. Rasanya, suasana malam ini sama seperti malam itu.
Malam ketika aku menemukan sesosok wanita berjaket tipis, duduk sendirian di
bangku taman ini. Wanita yang terlihat lemah karena sesekali ada batuk yang dia
keluaran dari mulutnya. Dia terlihat membaca sebuah komik roman Jepang yang
dari cover-nya saja sudah membuatku tak tertarik.
Aku
meminta izin untuk menempati bangku yang sama dengannya, karena tak ada lagi
bangku taman yang kosong selain yang dia tempati. Dia hanya menanggapiku dengan
sebuah anggukan, kemudian, aku duduk dengan sedikit rasa canggung yang merasuk.
Kuhela nafas panjang, kemudian mulai menyumpal telingaku dengan headset yang
sudah memainkan sebuah lagu. Dan kemudian, duniaku kembali berputar.
Aku
hanya seorang mahasiswa yang jauh dari keluargaku. Di kota ini, aku hanya
sebatang kara. Karena tak begitu pandai bergaul, aku selalu melarikan diri ke
taman ini untuk mengusir kesunyian. Menyedihkan, bukan?
Aku
tersadar dari lamunanku ketika dia dengan tiba-tiba menarik-narik kausku.
Kutoleh dia, dan kutatap dengan penuh tanda tanya, ketika tanpa sadar mulutku
berucap “Ada apa?” yang dia jawab hanya dengan menggerak-gerakan mulutnya tanpa
suara. Karena kebingungan, aku kembali berucap “Hah?” yang hanya dia tanggapi
dengan muka kesal dan mengisyaratkan aku untuk mencabut headset yang menyumpal
telingaku. Ahh maafkan aku. Batinku.
Aku
dengan buru-buru melepaskan benda itu, dan kembali bertanya “Ada apa?” yang
kini dia tanggapi dengan ekspresi muka sebal.
“Ma-maaf.”
Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Padahal, aku tak perlu
melakukannya pada orang asing, kan?
“Tadi
aku nanya, kamu punya air minum nggak?” mendengarnya, aku kembali terpaku.
Wanita ini, tanpa canggung meminta air minum pada orang asing sepertiku.
“Hellooowww~
anybody here?” pekiknya sambil
mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajahku.
Aku
tersadar, dan kemudian bergegas membuka tas kecil yang selalu aku bawa
kemana-mana. Ada beberapa snack dan
sebotol air mineral di dalamnya.
Aku
menyerahkan air mineral itu, yang langsung dia minum sampai setengah botol. Aku
terbengong melihatnya. Dia, seperti bukan seorang wanita saja.
“Huaaahh..
segarnyaa~” teriaknya puas. “Makasih yaa..” lanjutnya. Yang hanya kubalas dengan
berkata “Sama-sama.”
Setelah
interaksi itu, kami kembali dengan dunia kami lagi. Dia dengan membaca komik,
dan aku dengan musik yang sedang membanjiri telingaku. Jeda antara interaksi
kami dan diamnya kami berlangsung cukup lama, ketika tiba-tiba dia berdiri dari
bangku yang kami duduki. Aku meliriknya, dia terlihat menggerakkan mulutnya
sambil tersenyum, kemudian berlalu dari hadapanku. Sepertinya, tadi dia pamit padaku,
atau mungkin berterima kasih untuk air mineral yang kuberikan tadi. Entahlah.
Esoknya,
aku kembali mendapatinya di bangku taman itu. Kali ini dengan sebuah novel
fantasi yang terkenal. Aku menyapanya, yang kemudian dia tanggapi dengan sebuah
senyuman yang manis. Esoknya lagi, kami bertemu lagi. Esoknya lagi, dan
seterusnya. Karena sering bertemu, aku jadi penasaran dan memulai sebuah
obrolan dengan pertanyaan “Kamu sering banget ke sini, ya?” yang kemudian dia
jawab, “Kamu juga.” dan setelahnya, obrolan kami mengalir bagai air. Tak
terlalu cepat, tapi terus menerus. Dan setelah beberapa bulan, kami akhirnya
jadian.
Aku
masih ingat hari itu. Di sebuah sore ketika kami janjian untuk menikmati senja
bersama, aku bilang aku menyukainya. Dan dengan sedikit ekspresi malu-malu, dia
juga bilang kalau dia menyukaiku. Kemudian, aku memetik sebuah bunga yang tak
kutahu namanya, di taman itu dengan maksud akan kuberikan padanya. Bukannya senang,
dia malah memarahiku. Dia marah karena tak seharusnya aku memetik bunga itu.
Dia bilang kalau perbuatanku itu bisa membuat tanaman rusak. Dan bisa ditebak,
aku kembali meminta maaf. Haha.
***
Aku
tersadar dari lamunanku. Semakin kuingat, rasa sakit itu terus terasa dalam
dadaku. Seperti ada ribuan jarum yang menghujam dan menusuk dadaku. Kulihat handphone-ku dan waktu sudah menunjukkan
pukul sebelas malam. Aku beranjak dari dudukku, kemudian kutatap lagi langit
yang kini awannya berwarna sedikit abu-abu karena bulan sedang bersinar terang.
Bulan itu bersinar meskipun sendiri. Apa
aku juga bisa seperti itu?
Aku
kembali menghela nafas. Kemudian kulangkahkan kakiku untuk meninggalkan taman
ini. Meninggalkannya perlahan, tapi pasti. Aku membuang semua pertanyaan
tentangnya dalam benakku. Termasuk pertanyaan tentang kenapa dia memutuskan
untuk meninggalkanku. Aku memutuskan untuk tak perlu tahu akan hal itu. Karena
aku yakin, dia tak akan memutuskan sesuatu tanpa pemikiran yang matang.
Tapi,
ada sebuah pertanyaan yang tak bisa aku singkirkan. Pertanyaan itu adalah..
Apakah esok masih akan terasa sama seperti kemarin? Ketika semua hal tentangnya
begitu terasa sangat membahagiakan. Dan, apakah esok, aku akan kembali ke taman
ini?
***
Nina
Aku
menghempaskan tubuhku ke atas kasur besar di kamarku. Aku masih merasa bersalah
pada Yoga, lelaki yang sangat aku cintai itu. Kenapa aku bisa memperlakukannya
setega itu? Setelah selama satu tahun terakhir, dia terus membuat hidupku
berwarna dengan cintanya itu. Aku memang terkutuk!
Tapi,
aku akan lebih terkutuk lagi, jika aku masih bersikeras untuk terus bersamanya.
Itu semua karena aku mencintainya. Percayalah.
Aku
mendudukkan tubuhku di atas tempat tidur. Kemudian, kupeluk erat-erat boneka
beruang kesayanganku. Boneka beruang berwarna merah muda yang dia berikan
ketika Hari Valentine. Rasa sakit yang sedang dirasakan hatiku, ternyata lebih
menyakitkan dibanding semua rasa sakit yang pernah menghinggapi tubuh lemahku
ini. Benar-benar sakit.
Tapi,
aku sudah memikirkannya masak-masak sebelum mengambil keputusan ini. Rasa sakit
di hatiku ini, mungkin adalah balasan yang setimpal atas perbuatanku.
“Apakah
esok masih akan terasa hangat, ketika aku harus menjalani hidup tanpamu?”
Aku
mengejek pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Dan dengan frustasi, aku
kembali menghempaskan tubuhku. Lalu, kulirik sepucuk surat yang berada di atas
meja, yang amplopnya tertulis, “Rumah Sakit Cipta Medina”
Lalu,
air mataku kembali mengalir deras.